BEBAN HIDUP

Minggu, 22 November 2009

Malam terus merangkak, walau terasa begitu lambat dan seakan tak mampu mengimbangi langkah sang waktu yang berpacu cepat. Udara malampun terasa begitu dingin karena sore hari hujan turun begitu lebatnya, namun seorang lelaki tidur dengan bersimbah peluh. Tubuhnyapun selalu bergerak dan tak bisa diam, sesekali terdengar lenguhan dan racauan yang tak jelas keluar dari mulutnya. Rupanya lelaki itu mengalami mimpi buruk, Mimpi yang muncul karena terbawa kegalauan hati yang menyelimutinya akhir-akhir ini. Kegalauan yang timbul akibat ketidak mampuannya memenuhi kebutuhan hidup terutama tuntutan istrinya dan saat ini kegalauan itu hampir membuatnya gila. Lelaki itu tak menemukan solusi dan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Kepalanya hampir pecah memikirkan persoalan-persoalan itu, ditambah lagi sikap istrinya yang ia anggap terlalu cerewet dan malah membuatnya bertambah pusing. Terkadang ia menyalahkan istrinya yang tidak bisa menggunakan uang yang ia berikan dengan baik, jangankan disisihkan untuk menabung terkadang untuk makan sehari-haripun seakan tak pernah cukup. Maka tak heran pertengkaran demi pertengkaran sering menghiasi hari-hari dalam rumah tangganya. Seperti sore tadi…
 ‘’ Mas.., susu anakmu sudah habis..! mana uang untuk beli susu..!?” Ujar istrinya saat meminta uang pada lelaki itu.
“ Sabar dong bu.., aku juga sedang memikirkan itu “
“ Bagaimana aku bisa sabar, kamu mau anakmu kekurangan gizi karena tak minum susu. Lagipula uang tak akan datang kalau kamu cuma berpikir, ya..dicari dong mas..!”
“ Apa yang kau katakan benar..tapi kamu tahu sendiri hutangku sudah menumpuk dimana-mana. Aku harus cari dimana lagi..?”
“ Lho..kamu kok tanya sama aku. Kamu kan kepala keluarga.., usaha dong..! Mencuri kek, merampok kek...masa bodoh ! Aku nggak mau tahu, yang penting ada uang. Jangan sampai aku beranggapan kamu tak becus jadi kepala keluarga...!” Ujar istrinya sambil berlalu.

Lelaki itu terdiam mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut istrinya. Darahnya langsung mendidih, ucapan istrinya itu bagai palu godam yang menghantam dadanya. Ingin rasanya ia berlari menyergap istrinya lalu meremukkan mulutnya yang busuk itu tapi tak dilakukannya. Dalam lubuk hati ia membenarkan ucapan istrinya itu, untuk mendapatkan uang ia harus berusaha. “ Tapi usaha apa..? Apakah aku harus mencuri dan merampok seperti usul istriku tadi..?. Tidak...tidak ! aku tak akan melakukannya “. Walau ia jarang mendekatkan diri kepada Tuhan, lelaki itu tetap saja takut dengan azab yang akan menimpanya nanti jika melakukan perbuatan yang di larang dan di benci Tuhan. Mulut lelaki itu masih saja terus meracau tak jelas dan peluhnyapun masih terus membanjiri tubuhnya. Untungnya ia tidur di ruang tamu, terpisah dengan anak dan istrinya sehingga racaunya tak terdengar.

* * * * * * * * * *

 Samar-samar terdengar azan shubuh berkumandang, lelaki itu terbangun. Namun seperti biasa lelaki itu malas membuka matanya karena suara azan itu dianggapnya hanya bunyi alarm yang mengusik tidurnya. Dan saat suara azan itu tak terdengar lagi, iapun memeluk guling dan kembali meneruskan mimpinya. Namun kali ini ia tak bisa memejamkan matanya kembali karena ia merasa tak bisa menggerakkan kedua kakinya, kakinya seperti kaku dan mati rasa. Perlahan ia membuka matanya lalu samar-samar ia melihat kaki tertimbun sebuah gundukan dari ujung jari sampai ke pangkal paha. Dalam cahaya yang remang-remang matanya menatap lamat-lamat benda apa yang menimbun kedua belah kakinya. Dan iapun terbelalak saat menyadarai bahwa gundukan itu adalah gundukan uang. Lelaki itu mengucek-ngucek kedua bola matanya lalu mencubit pipinya, ah..ini bukan mimpi..! Hatinyapun melonjak kegirangan.

Dengan susah payah lelaki itu membebaskan kedua belah kakinya, lalu seperti anak kecil yang bermain permainan mandi bola lelaki itupun menjatuhkan tubuhnya pada gundukan uang itu dan menghamburkannya sebagian ke atas. Lembar-lembar uang yang melayang-layang, tak luput dari tatapan matanya yang berbinar-binar. Namun sesaat kemudian ia tercenung, akan aku apakan uang sebanyak ini ? Membayar semua hutang-hutangnya ia rasa cukup hanya dengan satu genggaman saja. Lalu ada ketakutan dalam dirinya, ia takut istrinya tahu bahwa kini ia mempunyai uang yang melimpah. Ia takut, uang ini akan habis tak berbekas dalam hitungan hari karena gaya hidup istrinya yang boros. Lelaki itu dengan tergesa berlari kearah dapur lalu mengambil selembar karung bekas penyimpan beras. Tanpa menghitung lagi, dimasukkannya genggam demi genggam lembar uang itu ke dalam karung dan setelah penuh karung itupun di taruhnya di gudang perkakas. sisa uang yang tak tertampung dalam karung, ia jejalkan dalam dalam tas bututnya. Namun kebingungan dan ketakutan masih melandanya, bagaimana bila istrinya tahu ada uang dalam tas ?. Akhirnya lelaki itu berniat menghibahkan uangnya ke mesjid yang terletak tak jauh dari rumahnya. Ia berpikir barangkali dengan beramal kepada mesjid, dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini dapat sedikit terhapus. Atau barangkali juga Tuhan akan kembali melimpahkan rejeki kepadanya, walau selama ini ia tak pernah bersyukur dengan apa yang telah di dapatnya.

* * * * * * * * *

 Cahaya mentari mulai menampakkan diri dari balik rimbunnya pepohonan. Kokok ayam jantan sudah tak terdengar sejak tadi dan kini berganti nyanyian riang burung-burung kecil menyambut pagi. Lelaki itu melangkahkan kakinya menuju mesjid. Tetapi tak lama lelaki itupun kembali di dera rasa bingung dan selaksa tanya hinggap dalam benaknya. Bagaimana bila ditanya asal muasal uang ini ? Bagaimana kalau mereka tak percaya ? Apakah mereka akan menuduhku seorang pencuri atau perampok ?. Di tengah kebingungannya, lelaki itu berpapasan dengan beberapa warga. Mereka terperangah saat lelaki itu berjalan linglung kearah jalan raya.
‘’ Mas, jangan kesana mas… ! ‘’ Ujar salah satu dari mereka sedikit panik. Sang lelaki terlihat ketakutan, ia berpikir kalau orang-orang itu akan merampas uangnya. Tapi niat untuk lari tertahan karena orang itu telah memegang tasnya, sang lelaki berusaha menarik tasnya.
‘’ Lepaskan..lepaskan ! ini uangku...ini uangku...lepaskan ! ‘’ teriak sang lelaki parau.
‘’ Tenang mas..tenang. Kami tak akan mengambil uangmu, kami hanya ingin mengajakmu pulang ‘’ Ujar orang itu untuk membujuknya.
‘’ Bohong.. ! pasti kalian bohong. Tolong…Tolong ! ada perampok…’’ Teriak sang lelaki sambil menangis. Lalu terjadi tarik menarik antara sang lelaki dengan orang-orang itu. Tak lama kemudian tas butut itupun putus dan robek menjadi dua, semua isinyapun berhamburan. Sang lelaki tak dapat menguasai keseimbangan saat tasnya putus, ia terhuyung-huyung dipinggir jalan raya. Brakkk..!! Tiba-tiba sebuah mobil truk menghantam tubuh sang lelaki dan orang-orang itu hanya bisa terpana.

* * * * * * * * * *

 Tubuh sang lelaki terbujur kaku di ruang tamu rumahnya. Disekelilingnya beberapa orang sedang khusyuk mengaji, seorang wanita terlihat menangis sesegukkan karena telah di tinggalkan suaminya pergi ke alam baka. “ Kita memang susah mas.., tapi mengapa harus berakhir seperti ini..” Gumam sang istri disela tangisnya. Sang istripun sangat menyesal bila ingat ia tak bisa membantu meringankan beban suaminya saat terkena PHK di kantornya. Begitu berat beban yang ditanggung suaminya, sehingga sejak dua bulan lalu suaminya jadi orang yang sangat pendiam, suka bicara sendiri dan tertawa sendiri. Tingkahnyapun semakin tak waras, semalam suntuk ia menggunting lembar-lembar kertas koran menjadi lembar-lembar kertas berbentuk lembar uang. Dan sang lelaki hampir saja mengamuk saat istrinya memintanya tidur. Sesal memang tak akan mengembalikan suami ke pelukannya, ia hanya berharap semoga suaminya kini menjadi lebih tenang. Karena kini suaminya tak lagi menanggung beban hidup.


Kampung sawah
13 Oktober 2009






Selengkapnya...

AWARD DARI BECCE LAWO

Jumat, 13 November 2009

Becce Lawo memang gokil
Gaya anak muda yang jail juga usil
Membuat award begitu terampil
Aku jadi mikir sambil korek-korek upil





Terima kasih sahabatku
Award spesial membuatku terpaku
Hati rasa tersipu malu
Tak tahu kapan bisa membalas kebaikanmu
Thank's sob..!! 
Selengkapnya...

AKHIRNYA AKU BISA TENANG

Jumat, 06 November 2009

Aku duduk diatas sebuah batu besar yang teronggok di pinggir jalan. Aku tercenung, tatapan mataku kosong dan jiwaku terasa hampa. Dalam kepala terasa dipenuhi berlaksa pikir, Namun aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Didalam benak ada berjuta tanya namun akupun tak tahu apa yang aku pertanyakan. Aku juga tak mengerti mengapa akhir-akhir ini jiwaku selalu dirundung sepi, aku merasa terbuang..terasing dari kehidupanku sendiri. Tak ada seorangpun yang menghiraukan aku, tak ada seorangpun yang perduli akan diriku. Bukan hanya ayah ibuku, kakakku, adikku, temanku dan bukan hanya sahabatku. Semuanya seakan menghindariku, jangankan menjawab sapaku..menolehpun seakan-akan mereka enggan. Apa salahku ?

Apakah mereka sudah muak dengan segala tingkah lakuku yang bejat, apakah mereka sudah muak dengan perbuatan-perbuatanku yang mendustai agama. Apakah…?
“ Hei..bung ! mengapa kau termenung…!?” Tiba-tiba seorang lelaki sebayaku datang menyapa. Aku tak mengenalnya, namun wajahnya tampak begitu berseri-seri dan pakaian yang dikenakannyapun tampak begitu bersih.
“ Maaf, anda siapa ?” Tanyaku
“ Aku..? “ Dia balik bertanya, lalu tersenyum. “ Bung..mungkin kau tak mengenal aku, tapi sebenarnya kita sama “
“ Sama ? apa maksudnya..?” Lagi-lagi aku tak mengerti.
“ Kita ada disini karena suatu kepentingan, walau kepentinganku dan kepentinganmu berbeda. Ah..sudahlah, nanti kau juga akan tahu mengapa kau ada disini. Mumpung kita masih di beri kesempatan, ayo..segera kita selesaikan kepentingan kita “. Aku makin tak mengerti, saat lelaki itu mengucapkan salam dan berlalu..aku hanya bisa mengangguk. Dan akupun kembali terhempas dalam sepi, namun kini beberapa tanya mulai menyesaki benakku karena ucapan lelaki tadi.

Dalam kegalauanku, aku melihat seseorang lelaki melintas di hadapanku. Sebenarnya aku tak perduli apakah ia menyapaku atau tidak tapi kehadirannya membuat aku terhenyak. Sosok lelaki itu bila dilihat dari perawakan juga wajahnya sepertinya mirip sekali denganku dan aku serasa sedang bercermin saat menatapnya. Kulihat lelaki itu berjalan agak terhuyung, dari mulutnya tercium jelas bau alkohol dari minuman yang seharusnya jadi campuran minum jamu. Tampaknya ia sedang menggerutu karena terlihat mulutnya komat-kamit, tak jelas apa yang sedang membuatnya kesal. Karena penasaran akupun mengikuti kemana kakinya melangkah. Lelaki itu terus berjalan menjauhi perkampungan dan tak seberapa lama sampailah ia ke tepi kampung dimana terletak beberapa pohon rimbun dengan sebuah jurang yang cukup dalam. Entah apa yang akan di lakukan lelaki itu, aku tak tahu. Tapi tiba-tiba terdengar suara minta tolong tak jauh dari tempat ia berdiri, lelaki itu segera berlari menghampiri asal suara dan akupun masih terus membuntutinya. Sesampainya di tempat asal suara terlihat seorang wanita tengah berupaya melepaskan diri dari tiga orang begundal yang akan memperkosanya.

“ Hei...lepaskan wanita itu !” Bentak sang lelaki yang sejak tadi aku ikuti. Para begundal itu sempat terkejut karena tak menyangka bahwa perbuatan mereka ada yang mengetahui, namun sebentar kemudian mereka tertawa terbahak setelah mengetahui siapa yang datang.
“ Ah...brengsek kau Min, aku kira siapa. Ayo sini bantu kita, nanti ada deh jatahmu tapi antri dulu ya.. ! ‘’ Ujar salah satu dari mereka dan kemudian tawa mereka kembali membahana.
‘’ Heh... ! kalian yang brengsek. Cepat kalian lepaskan wanita itu !’’ Ujar lelaki itu dengan nada keras. Para begundal itu menghentikan tawa mereka, dengan sedikit heran dan tak menyangka bahwa sang lelaki berkata seperti itu kepada mereka.
‘’ Hei..apa-apaan nih. Jangan berlagak sok alim kau Min...!’’ Ujar salah satu dari mereka.
‘’ Aku memang bejat, aku memang tak pernah sholat tapi aku tak akan pernah berbuat seperti kalian. Cuma orang-orang pengecut saja yang melakukan apa yang kalian lakukan ! ‘’
‘’ Brengsek kau Min, kurang ajar.. !’’ setelah saling berpandangan mereka langsung berbagi tugas, dua orang menyerang lelaki itu dan seorang lagi memegangi sang wanita. Kedua begundal mengambil sebatang kayu yang terserak di tanah lalu mulai menyerang lelaki itu dan lelaki itupun sekuat tenaga menangkis serangan mereka. Aku bergididk melihat perkelahian itu, tersirat niat untuk membantu lelaki itu tapi aku terlalu takut dan hanya berani menonton dari balik pohon sambil berharap sang lelaki dapat mengatasi lawannya.

Beberapa menit perkelahian terlihat masih seimbang namun ketika begundal yang ketiga turut mengeroyok lelaki itu barulah terlihat sang lelaki mulai terdesak. Beberapakali tubuhnya dihantam pukulan yang datang bertubi-tubi, tubuhnyapun mulai terhuyung mendekati bibir jurang.
“ Nah..baru tahu rasa kau, makanya jangan sok jadi pahlawan...” Ujar salah satu begundal.
“ Sudahlah, lemparkan saja ia ke jurang. Biar badannya busuk di dasar jurang “ sahut temannya, lalu mereka mulai mendorong tubuh lelaki itu.
“ Jangaaaann..!!” Tiba-tiba sang wanita berlari dan mencoba menahan tubuh sang lelaki yang mulai terguling. Namun tenaganya yang lemah malah membuatnya terbawa dan ikut terguling kedasar jurang. Para begundal sangat kaget dengan kejadian yang terjadi begitu cepat, sehingga mereka tak bisa berbuat apa-apa. Akupun tercekat melihat dua tubuh terguling dan meluncur kebawah lalu terhempas tak berdaya didasar jurang. Didasar jurang terlihat sang lelaki berusaha bangkit namun ia langsung mengaduh saat dirasakan kakinya patah, dengan beringsut ia mendekati tubuh sang wanita yang tergolek lemah namun masih hidup. Melihat kondisi wanita itu, lelaki itupun menangis. Dengan napas yang tersenggal-senggal ia berujar…
“ Ya Tuhan, barangkali ini adalah kesempatanku untuk melakukan satu-satunya perbuatan baik dalam hidupku. Tolong jangan cabut nyawaku sebelum aku dapat menyelamatkannya “ Ujar sang lelaki lirih.
Aku merasakan kesedihan yang mendalam saat mendengar ucapan lelaki itu, namun sayangnya Tuhan berkehendak lain. Ruh lelaki itu telah tercabut dari raganya.

Akupun mencoba membantu, tapi aku terlalu bingung arus berbuat apa. Tanpa sengaja kakiku menyeret langkah menuju perkampungan. Namun orang-orang yang kutemui dan kumintai tolong tak ada satupun yang menghiraukanku. Aku hampir menangis karena putus asa namun ditengah keputus asaanku, aku melihat seseorang yang mungkin dapat aku mintai tolong. Kulihat mas Aji sedang tertidur pulas di beranda depan rumahnya, akupun masuk ke alam mimpinya dan menceritakan kejadian yang kulihat tadi. Dan tak lama mas Aji terbangun dari tidurnya, keringat dingin bercucuran.
“ Ada apa pak ?” tanya istrinya ketika melihat suaminya bangun dengan tiba-tiba.
“ Sepertinya aku mimpi buruk bu..”
“ Ah..itukan salah bapak sendiri kenapa tidur siang-siang. Lagipula mimpi kan cuma kembang tidur “
“ Tapi ini seperti nyata bu. Si Parmin anak begundal itu minta tolong padaku karena jatuh ke jurang ‘’
‘’ Kalau memang benar seperti itu biarkan saja pak. Nggak ada untungnya menolong anak begundal seperti Parmin itu “ Mas Aji terdiam, tapi karena penasaran iapun beranjak lalu dengan ditemani mas Parjo mereka menuju jurang di pinggir hutan. Dan merekapun terkejut setelah melihat kenyataan bahwa mimpi mas Aji adalah benar-benar nyata. Seketika seluruh kampung menjadi geger dan akhirnya wanita yang bersama Parmin dapat diselamatkan nyawanya, sedangkan jasad Parmin sendiri di makamkan dengan layak di pemakaman kampung. Aku tersenyum puas, ternyata usahaku tak sia-sia.
“ Hei...tampaknya kamu sudah merasa gembira sekarang “ Ujar lelaki yang berpakaian serba putih menyapa sambil menepuk-nepuk bahuku.
“ Ya...aku sudah tenang sekarang ! ragaku akhirnya dapat di makamkan dengan layak dan keinginanku untuk menolong wanita itu akhirnya kesampaian. Aku tak tahu apakah itu berguna nantinya, tapi paling tidak kini aku mempunyai satu bekal kebaikan” Jawabku.
“ Baguslah...! Ayo...sang utusan telah menunggu kita” Ujar lelaki itulagi, akupun menyambut ajakannya dengan senyuman.  Lalu tubuhkupun melayang menuju sebuah titik cahaya yang makin lama makin terang benderang.



Cawang, 06 Nov 09 Selengkapnya...

BUKAN SKENARIO

Senin, 02 November 2009

" Hei Ton..! aku sudah sampai Pancoran nih. Kamu ada dimana ?" seru Raditya melalui handphonenya.
" Oh..kamu Dit, aku masih di kantor. Lebih baik kamu langsung saja kerumah. Awas..! kalau sampai menginap di hotel. Putus hubungan pertemanan kita " balas Anton sambil berseloroh.
" Oke bos ! beres..tapi bila aku menginap dirumahmu, nggak ganggu neraca keuangan kan ?"
" Sialan..! tenang aja deh. Bakalan aku servis abiss.." merekapun tertawa dan setelah menutup pembicaraan mereka, Raditya langsung mengarahkan kendaraannya ke arah Pejaten Pasar Minggu menuju kediaman Anton. Anton dan Raditya telah menjadi sahabat karib sejak bersekolah di salah satu SMA kota Cirebon, begitu akrabnya mereka sehingga dimana ada Anton disitu juga ada Raditya. Bolos sekolah, nongkrong bahkan tawuranpun mereka sama-sama. Dan kini setelah lulus merekapun sama-sama merantau, Anton ke Jakarta dan meniti karir di media televisi swasta sedangkan Raditya menjadi seorang pengusaha sukses di Bandung. Anton menikahi Tania gadis teman satu SMA mereka, sehingga Raditya tak canggung dengan keluarga Anton dan seringkali saat ada keperluan bisnis di Jakarta Raditya selalu bermalam di rumah keluarga Anton. Walau sebenarnya itu bukanlah keinginannya tapi semata-mata untuk menyenangkan sahabatnya saja. Sedangkan Anton memang punya kepentingan sendiri dengan meminta Raditya selalu menginap di rumahnya bila ke Jakarta, selain menunjukkan bahwa ia tak melupakan persahabatan mereka namun jauh dilubuk hatinya Raditya dianggapnya sebuah aset. Sebagai pengusaha yang sukses tentunya dari segi finansial Raditya adalah orang yang berkecukupan, dengan begitu Anton berharap Raditya dapat membantunya memecahkan masalah yang sering ia hadapi terutama bila menghadapi masalah kesulitan keuangan. Sekian tahun bekerja Anton merasa tak mengalami perubahan, jalan ditempat dan tak ada peningkatan dari segi karir maupun finansialnya. Raditya tentunya tahu hal itu sehingga ia tak segan-segan mengucurkan uang simpanan yang dimilikinya bila Anton sewaktu-waktu membutuhkan. Terakhir Raditya membantu biaya pengobatan ibu Anton yang sakit jantung akut, kini telah sembuh dan dibawa Anton ke Jakarta," agar lebih mudah mengawasinya " ujar Anton waktu itu. Padahal Anton membawa ibunya ke Jakarta karena ayahnya sendiri telah lama meninggal sedangkan adik-adiknya yang juga sudah berkeluarga merasa keberatan merawat ibu mereka yang sakit-sakitan. Waktu itu seluruh biaya pengobatan ibu Anton serta biaya membawanya ke Jakarta semua ditanggung Raditya tanpa mengharap pamrih walau Anton berjanji akan mengembalikannya dengan cara mencicil.

Setibanya di perempatan lampu merah Pasar Minggu Raditya membelokkan kendaraanya kekanan memasuki daerah Pejaten. Setelah melewati dua buah tikungan sempit sampailah ia di depan gerbang rumah Anton. Pintu gerbang dibuka oleh pembantu rumah tangga yang sudah ia kenal baik dan di beranda rumah sudah berdiri ibu Anton, Tania juga Sandra adik Tania. Ibu Anton sudah menganggap Raditya seperti anaknya sendiri, sehingga ia terlihat begitu gembira menyambut kedatangannya kembali. Raditya langsung mencium lengan ibu Anton dan kemudian memeluknya, lalu menjabat tangan Tania juga Sandra.
" Wah.. nak Adit, sudah lama sekali ya..tidak kesini. Kemana saja ?" sambut ibu Anton ramah.
" Ah..biasalah bu, dirumah banyak pekerjaan ".
" Istrimu ndak diajak toh..?"
" Ya nggak lah bu!, anak-anak kan masih sekolah. Lagipula saya kesini ada urusan pekerjaan bukan jalan-jalan " ujar Raditya sambil tertawa.
" Ya sudah sana..kamu istirahat dulu, biar Tania yang mengantarmu ".
" Biar saya saja bu..! mari..mas, saya antar !" ajak Sandra sambil melemparkan senyum.
Setelah merapihkan barang-barang bawaannya dan istirahat sejenak, Raditya kembali ke beranda depan bergabung dengan ibu Anton dan Tania yang sudah duduk disana. Merekapun berbincang diselingi senda gurau sambil menunggu Anton pulang dari kantornya. Satu jam berselang Anton pulang dan menemui mereka yang sedang asik ngobrol.
" Wah..! sedang membicarakan aku ya.." ujar Anton.
" Ihh..ge-er banget ! siapa yang membicarakan mas Anton, iya kan bu !?" balas Tania, ibu Anton hanya tersenyum-senyum saja. Raditya menghampiri Anton yang baru saja datang dan merekapun berpelukan layaknya sahabat yang lama tak jumpa.
" Sepertinya tambah gendut saja kau..Ton !" ujar Raditya sambil menepuk-nepuk perut Anton.
" Ah..bisa saja kau. Eh..bagaimana kabar mbak Silvi juga si bungsu ?" tanya Anton.
" Syukurlah..semua sehat-sehat saja "
" Oke Dit..! aku mau kebelakang dulu. Terusin deh..ngobrolnya " ujar Anton sambil berlalu ke dalam diikuti oleh Tania. Tinggal lah Raditya bersama ibu Anton meneruskan obrolan mereka.

Hari telah meninggalkan senja, selimut malampun telah terbentang menyelimuti hamparan langit. Cahaya temaram bulan sabit tak mampu menandingi cahaya-cahaya yang berpendar dari lampu-lampu jalan dan rumah-rumah yang cukup padat di selatan Jakarta itu. Dengan ditemani istrinya, Anton masih berbincang-bincang dengan Raditya di beranda depan itu sedangkan ibu Anton dan Sandra sudah pergi tidur sejak tadi. Topik yang mereka perbincangkan juga bermacam-macam, dari kenangan mereka selama di SMA lalu tentang pekerjaan juga soal rumah tangga. Seperti biasa obrolan mereka begitu hangat, akrab diselingi canda dan tawa.
" Eh..sorry Ton !, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin aku hanya menginap satu malam saja disini " ujar Raditya tiba-tiba.
" Lho..memangnya kenapa Dit ?"
" Besok aku ada meeting di hotel Borobudur dengan beberapa kolegaku, dan kemungkinan sampai larut malam. Aku pikir daripada aku capek bolak-balik lebih baik sekalian saja aku menginap disana. Kamu nggak keberatan kan ?"
" Ya..nggak apa-apa sih. Berapa hari meetingnya ?"
" Tergantung !, bila agenda yang akan kami bahas bisa selesai besok berarti cuma satu hari. Tapi bila belum selesai pastinya dilanjutkan keesokan harinya ".
" Oh..begitu, ya..deh !".
Setelah rasa kantuk mulai menyerang dan mata mulai terasa berat mereka sepakat untuk beristirahat. Raditya menuju ruang tidur yang terletak di lantai dua bersebelahan dengan ruang kerja Anton yang biasa ia gunakan saat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantor atau hanya sekedar membaca buku-buku yang memang cukup banyak dan tertata rapih di rak buku. Raditya membuka gorden jendela kamar lebar-lebar, kemudian memandangi kerlap-kerlip lampu dari beberapa rumah. Juga terlihat olehnya beberapa kendaraan yang lewat karena memang rumah Anton hanya beberapa meter saja dari jalan raya alternatif yang menghubungkan Pasar Minggu ke Kalibata atau Mampang Prapatan. Walau pemandangan yang ia lihat tak seindah jika dibandingkan dengan pemandangan yang ada di Bandung, tapi itu cukup membuatnya senang. Ia merebahkan tubuhnya perlahan dan mencoba memejamkan mata, sedang Anton dan istrinya masih menonton televisi di ruang tidur mereka. Jarum jam terus berdetak, malam pun mulai merambat menapaki ujung hari. Waktu telah menunjukkan hampir tengah malam, ketika sebuah bayangan keluar dari kamar dan menutup pintunya kembali perlahan. Dengan sangat hati-hati dan berusaha tidak menimbulkan suara, bayangan itu berjalan perlahan menuju sebuah kamar lain lalu mengetuk daun pintunya.
" Kok lama sayang..?" tanya seseorang di balik pintu, sedangkan yang ditanya tak menjawab, ia hanya tersenyum lalu tanpa berlama-lama merekapun bersatu dalam pelukan.


* * * * * * * * * *

Setelah berpisah di perempatan Tugu Pancoran, Anton dan Raditya berpisah. Anton melanjutkan perjalanan ke arah Grogol menuju tempat kerjanya sedang Raditya memilih jalan Tebet Raya untuk menuju ke Hotel Borobudur. Dalam perjalanan Anton bersiul-siul gembira, karena merasa skenario yang telah ia susun jalannya sudah terbuka, suatu rencana busuk yang telah ia rencanakan dengan matang. Sebenarnya rencana itu telah ia siapkan saat Raditya mengabarkan akan datang ke Jakarta, sayangnya saat ia basa-basi menawarkan untuk menginap di rumahnya Raditya mengiyakan. Padahal ia mengharapkan Raditya menolak, karena jika menginap di rumahnya rasanya mustahil menjalankan skenario yang ia inginkan. Saat ini Anton sedang dirundung masalah yang cukup membuatnya pusing tujuh keliling. Ia terlibat hutang yang cukup besar pada seseorang, karena hobinya bersenang-senang dan main judi membuatnya terperangkap dalam situasi yang ia sendiri tak sanggup menyelesaikannya. Anton sudah beberapakali didatangi oleh Debt Collector yang datang untuk menagih hutang-hutangnya.

Terinspirasi oleh berita-berita yang begitu gencar ditayangkan televisi yaitu tentang seseorang yang terbunuh dan melibatkan seorang pejabat negara, Anton mendapat ide gila, busuk dan keji. Ia merencanakan untuk memeras seseorang dan orang yang akan ia peras adalah Raditya, sahabatnya sendiri. Ia tahu betul akan pribadi Raditya, Anton yakin Raditya akan mengorbankan apapun yang ia miliki untuk menjunjung harkat dan martabat keluarga, satu kelebihan dari pribadi Raditya yang akan dijadikan titik lemah oleh Anton. Ia berencana mengumpankan seorang wanita pada Raditya dan berharap umpannya mengena. Kemudian ia akan mengabadikannya dengan foto ataupun video kamera. Dengan itulah Anton akan memeras Raditya dan tentunya Anton yakin Raditya akan memenuhi semua permintaannya karena tak ingin keharmonisan keluarganya hancur berantakan.

Sebenarnya Anton sempat ragu menjalankan rencana itu karena sempat terpikir olehnya bila meminta pertolongan secara baik-baikpun rasanya Raditya tak keberatan. Anton juga ragu karena ia tidak tahu persis apakah Raditya termasuk lelaki yang mudah terpesona oleh kecantikan dan kemolekan tubuh seorang wanita. Namun semua keraguan itu sirna karena sifat serakah dan rakus telah membutakan mata hatinya, skenario yang telah ia susun tetap akan dijalankan sesuai rencana. Hubungannya yang luas dengan dunia gemerlap membuat Anton tak menemui kesulitan untuk mendapatkan seorang wanita cantik untuk dijadikan umpan dan lingkungan kerja di dunia pertelevisian juga memudahkannya mendapat kamera video mini untuk merekam pertemuan wanita itu dengan Raditya. Dan terakhir, juru foto yang ditugaskan untuk mengabadikan rencana jahatnya itu ia temui atas rekomendasi seorang temannya. Semuanya direncanakan dengan hati-hati, wanita dan sang juru foto akan dibayar cukup besar karena ia tak ingin skenario yang ia buat justru berbalik padanya. Dia juga mengajak seoarang bawahannya yang loyal untuk di jadikannya kaki tangan dalam menjalankan skenarionya itu.

Di lain tempat Raditya juga merasa senang namun juga tak enak hati telah membohongi Anton. Karena sebenarnya ia tak punya agenda untuk mengadakan meeting dengan koleganya di hotel Borobudur, tujuan sesungguhnya adalah dapat dengan bebas bertemu dengan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama. Menghembuskan buih-buih hasrat yang sekian lama terpendam dan bergejolak dalam dada, lama terpatri dan terkungkung dalam ikatan sakral perkawinan. Dering handphone membuyarkan lamunan Raditya..
" Eh..Dit, sudah sampai mana ?"
" Aku baru sampai Gondangdia Ton..!" bohong Raditya padahal ia masih di jalan Tebet Raya.
" Nanti kalau sudah dapat kamar, beritahu aku ya..! kabari juga kapan kembali ke Bandung, barangkali aku bisa menyempatkan waktu untuk berkunjung sebelum kamu pulang " ujar Anton sambil meyeringai licik. Padahal ia hanya perlu tahu di kamar mana Raditya akan tinggal demi memudahkannya menjalankan skenario. Sedangkan Raditya berpikir, " wah..jika kau datang, bisa buyar rencanaku Ton.." namun ia coba tetap bersandiwara.
" Ya! beres Ton, tapi jika mau datang kabari aku juga ya. Aku nggak enak jika kamu datang aku masih sibuk meeting "
" Oke..!" merekapun sama-sama tersenyum penuh kemenangan.
Setelah menutup pembicaraan mereka, Raditya segera menghubungi seseorang. Tak sampai setengah jam merekapun bertemu dan langsung meluncur ketempat tujuan. Hari masih pagi namun arus kendaraan sudah mulai terlihat padat, di beberapa titik malah sudah terjadi kemacetan yang memang sudah menjadi pemandangan lumrah di jalan-jalan ibukota. Luapan asap knalpot kendaraan serta kemacetan yang ada, dengan cepat menjadikan suhu udara menjadi panas, sepanas gelora hasrat kedua insan yang dimabuk asmara.

Anton mulai menjalankan skenarionya, melalui kaki tangannya ia mengirim juru foto ke hotel Borobudur dengan membekalinya satu foto close-up Raditya. Tujuannya untuk mensurvei tempat juga mengenali targetnya terlebih dahulu sebelum wanita yang akan dijadikan umpan ia kirim. Semuanya sudah ia perhitungkan dengan matang dan mencoba menghindari setiap celah yang sekiranya akan menggagalkan skenarionya.
Menjelang petang Anton terlihat tengah menikmati sebatang rokoknya, menghisap lalu menghembuskan asapnya perlahan. Hatinya sedang gelisah, sebentar-sebentar ia bangkit dari duduknya dan mondar-mandir didepan meja kerja. Dalam hati ia bertanya-tanya " apakah skenario yang telah ia susun rapi berjalan sesuai rencana ?". Namun kegelisahannya seakan terhapus dan mulai tersenyum saat membayangkan setumpuk uang dalam koper berada di hadapannya.
" Tok..tok..tok !" tiba-tiba ketukan pada daun pintu membuyarkan lamunannya.
" Masuk..!"
Perlahan daun pintu terbuka, Iwan seorang bawahan yang dijadikan kaki tangan dalam menjalankan rencananya masuk. Kepalanya tertunduk dan wajahnya terlihat pucat pasi, di tangannya tergenggam sebuah amplop coklat. Anton agak bingung melihat tingkah laku Iwan, sempat terpikir kalau skenarionya gagal.
" Ada apa dengan kamu ? rencana saya gagal ?"
" Ti..ti..tidak bos..!" jawab Iwan gugup.
" Lalu mengapa kamu terlihat gugup seperti itu ?" Tanya Anton lagi. Iwan tak menjawab, dengan tangan sedikit gemetar ia menyodorkan amplop coklat yang dipegangnya.
" Apa ini..?" tanya Anton sambil menerima amplop itu lalu segera membukanya, matanyapun terbelalak. Giginya gemeletuk menahan amarah yang meluap-luap. Tangannya dengan cepat membuka lembaran-lembaran foto yang ada ditangannya. Ia seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, beberapa pose dari foto itu memperlihatkan kemesraan Raditya dengan seorang wanita.  Yang menyesakkan dadanya adalah Raditya bermesraan bukan dengan wanita yang sengaja ia umpankan, melainkan dengan Tania...istrinya !. Wajahnyapun merah padam, darahnya menggelegak, napasnya mulai sesak. Tangannya terkepal meremas foto-foto itu, lalu pukulannya mendarat keras di meja kerjanya. " Bruakkk...!!"
" Bangsaaaaat..!! bajingaaaaan....!!"

Sungguh..! bukan ini skenario yang ia inginkan.



Lenteng Agung' 08



Selengkapnya...