NURANI TIKUS

Selasa, 14 September 2010

Disebuah hutan rimba yang luas dan subur, para satwa terlihat mulai gelisah. Hal itu disebabkan karena wakil-wakil dari satwa yang mereka pilih untuk menyampaikan aspirasi mereka kini semuanya telah berubah jadi tikus-tikus berkepala besar ( mau menang sendiri ), bertelinga tebal ( tidak mau mendengar ) dan berhidung kecil ( kepekaan sosialnya rendah ). Dari gajah yang dulu bijaksana, kura-kura yang alim dan pendiam kemudian kancil yang pintar, kini semuanya berubah menjadi tikus-tikus yang rakus. Tak ada yang berani menentang mereka tak terkecuali singa si raja hutan, para satwa jelata maklum dan berpikir " Barangkali sang singa takut bila mengusik tikus-tikus, mereka malah akan menggerogoti makanannya ". Dan kini, penguasa rimba seakan-akan bukanlah sang singa tetapi para tikus.

Para tikus mempunyai lubang ekslusif ditengah rimba. Disanalah mereka berkumpul, semula untuk membuat langkah-langkah mensejahterakan satwa-satwa yang telah memilih mereka tapi kini di lubang itu hanya menjadi tempat mereka mencicipi butir-butir upeti dari para satwa. Lubang itu terlihat begitu sepi saat membahas masalah-masalah yang dihadapi para satwa tetapi sekejap menjadi begitu ramai saat pembagian jatah upeti. Sering terdengar adu argumen, gontok-gontokan atau bahkan baku pukul untuk memperebutkan upeti atau menghujat kejelekan-kejelekan dari kelompok tikus yang lain. Para satwa jelata hanya bisa mengurut dada.

Kini para tikus berencana membuat lubang baru yang lebih besar, lebih mewah serta dilengkapi fasilitas-fasilitas yang serba lux. Para satwa mulai menjerit, mengaduh, mengerang bahkan menghiba agar niat itu dibatalkan. Mereka khawatir, upeti-upeti yang diminta akan lebih besar dan banyak lagi. Tapi para tikus tak mau mendengar. Dikepala mereka sudah terbayang, datang kelubang bisa berleha-leha sambil berenang. Dalam kamar yang luas dengan diam-diam bisa juga memelihara gundik atau ruangan yang sejuk bisa melancarkan negoisasi dengan para koruptor. Bahkan satwa-satwa dari rimba tetangga yang telah menghina martabat dan secara agresif mulai merampas jengkal demi jengkal tanah rimba tak mereka hiraukan, tak satupun dari para tikus itu yang berteriak, berargumen seperti saat mereka membela kepentingan kelompok mereka.

Para satwa jelata memendam amarah, bahkan ada yang berteriak...
" Jangan hanya lubang yang besar, perabot lengkap atau kolam renang ! sekalian saja buat kompleks pemakaman, biar kalau mati tak usah lagi merepotkan para satwa jelata !!"

Apakah para tikus-tikus itu masih punya nurani ?
Selengkapnya...