Sore ini langit terlihat mendung, rintik-rintik hujan yang turun sejak siang hari masih saja menghiasi langit. Mataharipun seakan telah kembali ke peraduan yang berselimutkan awan gelap. Ferdi duduk terpaku diatas kursi rodanya, matanya menatap lurus ke arah kolam-kolam ikan yang letaknya tak jauh dari pondok kecilnya. Rintik-rintik hujan yang jatuh diatas permukaan kolam menimbulkan riak-riak kecil yang tak henti bergerak, terus memendar dan menyebar keseluruh permukaan kolam. Ferdi menaikkan resleting jaket yang dikenakannya sampai sebatas leher, coba menghindari semilir angin dingin yang coba menelusup dan mencari celah untuk bercumbu dengan pori-pori kulitnya. Lalu ia mengusap-usap pipinya untuk mendapat sedikit kehangatan namun saat mengusap bekas luka yang ada dipipi kanannya, Ferdi malah teringat peristiwa yang tak akan pernah bisa dilupakannya. Peristiwa yang kini membawanya duduk disini, diatas kursi roda ini.
Braaakkkkk....!!! Suara hantaman terdengar begitu keras dan menghentak warga yang ada disekitar. Sontak wargapun berhamburan mendekati asal suara dan mencari tahu apa yang terjadi. Rintik-rintik hujan gerimis yang mulai terasa bertambah deras tak menghalangi keingin tahuan mereka. Terlihat sebuah kijang Innova ringsek dan hampir tak berbentuk, teronggok dipinggir rel kereta api tak jauh dari pintu perlintasan kereta api. Bagian depannya hancur dan terlihat seorang pengemudi terkulai lemas dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Tubuh dan kakinya terhimpit bagian depan yang ringsek dan butuh hampir 2 jam untuk mengeluarkan tubuhnya dari dalam kendaraan.
" Tidak..tidak, ini tidak mungkin. Tidaaaakkk...!!" Teriak Ferdi histeris sambil meronta-ronta, setelah mengetahui kedua belah kakinya diamputasi sampai sebatas lutut. Ibunya hanya bisa menangis sambil memeluk tubuh Ferdi. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, semua larut dalam kesedihan. Hanya ayah Ferdi yang terlihat lebih tabah dan terus mencoba menenangkan Ferdi dengan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.
Waktu 3 bulan rasanya terlalu singkat bagi Ferdi untuk bisa menerima kenyataan pahit yang harus dialaminya. Ia begitu shock dan tak siap menerima semua itu, berjuta tanya selalu menghantui benaknya. Bagaimana kehidupannya kelak ? Bagaimana pekerjaannya juga masa depannya ?. Padahal dengan kerajinan serta ketekunannya dalam bekerja, ia baru saja menerima promosi jabatan di kantornya. Namun kini semua berantakan. " Ini semua gara-gara kamu Hen..!!" Umpat Ferdi saat pertama kali menyadari dirinya sudah cacat. Wajar jika Ferdi berpikir seperti itu karena sebelum kejadian ia sempat bertengkar hebat melalui telepon dengan Heni kekasihnya. Lalu iapun terburu-buru membawa kendaraan untuk menemui Heni dan dalam perjalanan ia tak menyadari telah menerobos pintu perlintasan kereta api sehingga terjadilah kecelakaan itu. Namun kini ia menyadari rasanya tak pantas menyalahkan Heni, ia sama sekali tak bersalah. Barangkali pertengkaran dengan Heni hanya merupakan media untuk Ferdi menemui takdirnya dan barangkali pula memang sudah takdirnya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kedua kakinya buntung atau cacat. Sekarang, perlahan Ferdi mulai membangkitkan semangat hidupnya. Ia bertekad menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Ferdipun mencoba menghapus bayang-bayang keraguan akan masa depannya, menghapus bayang-bayang masa lalu. Mencoba melupakan cintanya dan melupakan Heni. " Biarlah..ia tak perlu tahu apa yang terjadi padaku. Rasanya aku sudah tak pantas dan layak untuknya dan biarlah ia menemukan kebahagiaan walau bukan aku yang ada disisinya kelak. Walau ia tahu, cinta tidak semata-mata diukur dari fisik seseorang namun ia tak mau berharap. "Barangkali lebih baik begini, baik untukku juga baik untuknya " Gumam Ferdi dalam hati.
Dan kini Ferdi mencoba untuk mulai menikmati kehidupan barunya. Mencoba menyepi dan menjauh dari hiruk-pikuk ibukota dengan membeli sebidang tanah di suatu daerah yang sejuk nan asri. Sebenarnya ini sudah lama diidam-idamkannya, tinggal didaerah yang sejuk, sepi dan jauh dari keramaian. Mendengar gemericik air dari sungai yang mengalir begitu menentramkan jiwanya. Suasana seperti itu membantunya untuk mengeluarkan ide-ide yang ada dalam benak untuk dijadikan sebuah tulisan, satu hoby yang kini mulai mengisi hari-harinya. Selain itu, dengan dibantu beberapa karyawannya ia membuat beberapa kolam ikan sebagai sumber penghasilan. Bagi Ferdi, apapun akan dilakukannya dan cacat ditubuh tak akan menghalanginya untuk berbuat sesuatu.
Dan kini Ferdi mencoba untuk mulai menikmati kehidupan barunya. Mencoba menyepi dan menjauh dari hiruk-pikuk ibukota dengan membeli sebidang tanah di suatu daerah yang sejuk nan asri. Sebenarnya ini sudah lama diidam-idamkannya, tinggal didaerah yang sejuk, sepi dan jauh dari keramaian. Mendengar gemericik air dari sungai yang mengalir begitu menentramkan jiwanya. Suasana seperti itu membantunya untuk mengeluarkan ide-ide yang ada dalam benak untuk dijadikan sebuah tulisan, satu hoby yang kini mulai mengisi hari-harinya. Selain itu, dengan dibantu beberapa karyawannya ia membuat beberapa kolam ikan sebagai sumber penghasilan. Bagi Ferdi, apapun akan dilakukannya dan cacat ditubuh tak akan menghalanginya untuk berbuat sesuatu.
* * * * * *
Sambil bersandar di jok mobilnya yang lembut, Heni memandangi pemandangan yang dilewatinya. sesekali ia tersenyum dan melirik Kusuma, suaminya yang sedang mengendarai mobil. Heni memang terlihat begitu sumringah karena hari-harinya sebagai pengantin baru selalu diisi dengan kebahagiaan, setidaknya itu yang dirasakannya kini. Apalagi ia merasa sangat beruntung memiliki seorang suami yang lembut dan penuh perhatian seperti Kusuma. Barangkali memang pembawaan dari suaminya itu yang berprofesi sebagai seorang dokter yang kesehariannya harus bersikap sabar dan perhatian terhadap pasien-pasiennya. Hari ini Kusuma mengajak Heni memancing, padahal ia sendiri sama sekali tidak mempunyai hoby memancing. Kusuma hanya ingin menyenangkan hati Heni karena ia tahu istrinya itu sangat suka memancing. Sedangkan bagi Heni, sebenarnya memancing justru mengingatkannya pada sosok Ferdi. Mantan kekasih yang meninggalkannya begitu saja tanpa kabar juga pesan, dan karena Ferdilah ia menyukai dan mendapatkan kesenangan dari memancing. Tapi Heni tak mau larut dalam kenangan itu.
" Memangnya mau memancing dimana sih mas, masih jauh ya ?" Tanya Heni sambil mencoba mengalihkan ingatannya.
" Ooh..nanti kita memancing di tempat temanku, Mas Anton namanya. Tenang saja...ngga lama lagi sampai kok, tempatnya juga enak. Aku jamin kamu akan kerasan disana " Jawab Kusuma sambil tersenyum dan disambut senyum pula oleh Heni yang coba kembali menikmati pemandangan. Dan tak lama kemudian mereka pun sampai ditempat yang dituju.
" Nah..kita sudah sampai ! coba kamu lihat, sudah banyak terlihat pemancing disana" Ujar Kusuma pada Heni. Heni tak langsung menjawab, matanya menatap beberapa pemancing yang duduk menghadapi jorannya bahkan ada yang terlihat sedang menarik jorannya karena kail telah mendapatkan ikan. Senyum Heni mengembang, rasanya ingin segera ia merasakan sensasi menarik ikan seperti yang pernah ia rasakan dulu.
" Pagi pak..! bisa bertemu dengan Mas Anton..?" Tanya Kusuma pada seorang lelaki yang sedang berdiri mengawasi para pemancing.
" Oh..Pak Anton, beliau ada disana mas..! Nah..itu yang sedang memberi umpan ikan.." Ujar lelaki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya. Heni menatap kearah yang ditunjuk, ia melihat seorang lelaki yang duduk diatas kursi roda sedang melemparkan sesuatu kearah kolam ikan.
" Temannya Mas Kusuma, yang itu mas ?" Tanya Heni penasaran karena tak menyangka teman yang dimaksud adalah seorang yang cacat.
" Ya..itu Mas Anton ! Anton Ferdiansyah lengkapnya. Dulu ia pasienku, kebetulan aku yang menanganinya saat ia mengalami kecelakaan. Dan kebetulan pula aku sangat kagum akan semangatnya karena dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, ia tak putus asa dan gampang menyerah.." Jelas Kusuma sambil menggandeng tangan Heni untuk menghampiri orang yang dimaksud. Heni sedikit terkesiap dan hampir saja menghentikan langkahnya saat mendengar nama Anton Ferdiansyah, nama itu seperti akrab ditelinganya. Dan hatinya terus bertanya-tanya bahkan sampai mereka persis dibelakang lelaki itu.
" Selamat pagi Mas Anton..!" Sapa Kusuma ramah. Lelaki yang disapa perlahan menolehkan kepalanya dan memutar kursi rodanya. Heni terkesiap dan terpaku, Ferdi...? rasanya tak percaya ia dapat melihat kembali wajah yang begitu dikenalnya. Iapun langsung bergidik ngeri melihat parut diwajahnya dan bertambah terkejut ketika melihat kedua belah kakinya buntung sebatas lutut. Mengapa Ferdi ? Apa yang terjadi ? Pertanyaan yang langsung menghiasi benaknya. Terkejut karena pertemuannya kembali dengan Ferdi dan juga shock melihat keadaannya, membuat Heni limbung dan kemudian tak sadarkan diri. Ferdi hanya bisa terpaku melihat itu karena iapun tak menyangka sama sekali bisa bertemu dengan Heni kembali, namun hanya satu yang diharapkannya.... " Semoga Kusuma hanya menganggap Heni pingsan karena shock melihat fisikku dan bukan shock karena bertemu kembali denganku mantan kekasihnya, dia tak perlu tahu itu. Aku tak mau merusak kebahagiaan mereka " Gumam Ferdi dalam hati.
Cerpen ini sengaja dibuat untuk mengikuti kontes yang diadakan oleh Sang cerpenis yang di dukung oleh VIXXIO , untuk menyambut postingan mba Fanny yang kini hampir mencapai 1000 postingan.
Seandainya menang, saya pilih novel Larasati ( Pramoedya Ananta Toer ). Biar bisa belajar menulis yang baik dari seorang sastrawan hebat.
Selamat beraktivitas....salam hangat selalu.
Selengkapnya...