SAMPAN KECIL KITA

Selasa, 30 Juni 2009

Kau bagai rembulan di malam-malamku
Menikmati jeritan burung-burung hantu
Kau berlaksa setia berlaksa mengerti
Enyahkan berjuta harap berjuta asa

Aku tak pernah menebar janji
Tuk membangun indahnya bahtera untukmu
Aku tak pernah menyemai janji
Tuk sematkan mahkota bertabur asa di sudut dahimu
Kau tahu itu...
Kau pun tak pernah berharap..tak pernah meminta
Pohon yang kita tanam akan berbuah ranum
Dan akupun tahu itu...

Aku hanya mampu berikanmu sebuah sampan kecil
Dimana kita kayuh bersama lewati debur-debur ombak
Mendayung kayuh seirama gemulai riak air
Hilangkan penat dari sedih dan pedih
Sampai kita terhempas dipantai putih
Tengadah awan putih biru berarak

Hanya ada satu harap..
Suatu saat sampan itu kan kita kayuh kembali
Mengarungi debur dan gulungan ombak
Walau kita tahu sampan itu tak akan jadi bahtera Selengkapnya...

SENYUM DI BALIK KACA

Sabtu, 27 Juni 2009

Wajah itu ku tatap lagi
Setiap pagi...pagi...dan pagi
Tersenyum simpul..malu tersipu
Wajah oval..hidung bangir..rambut sebahu
Senyum tanpa kata tanpa suara
Terhalang kaca..pisahkan sapa

Pagi ini kutatap lagi wajahmu
Masih tersenyum mengundang sapa
Tapi buramnya kaca hambarkan senyum
Bagai kabut halangi pandangan
Bagai mendung halang cahaya mentari
Kembalikan lembut senyummu
Biar kusapa wajahmu..
Biar kusapa senyummu..
Biar kunikmati tawamu.. Selengkapnya...

BUKAN DISINI TEMPATMU NAK..!

Vita duduk termenung, sebagai anak kecil berumur lima tahun seharusnya kini ia bermain bersama teman-temannya dengan penuh keceriaan, berlari, melompat dan menari. Tapi itu tak dilakukan, hari-hari dilaluinya penuh kesendirian, sepi dan sunyi. Tak ada teman berbicara, tak ada teman bermain. Ia duduk dengan tangan menopang dagu, memandangi sebuah taman dari sebuah rumah kecil namun asri.

Didalam taman banyak terdapat permainan untuk anak-anak seumur dirinya, ada sebuah jungkat-jangkit, peluncur, kuda-kudaan dari kayu juga ayunan yang menghadap langsung kesebuah kolam renang keluarga. Kolam renang itu dipagari oleh pagar kayu bercat putih yang kelihatan belum kering benar, mungkin pemiliknya berharap pagar itu berfungsi sebagai pengaman anak-anak yang bermain di situ.

Hari mulai senja, sinar mataharipun mulai terhalang rimbunnya dedaunan. Angin semilir berhembus meniup dan menghantarkan daun-daun kering melayang, mengayun pelan sebelum jatuh terhempas ke tanah. Vita masih mematung dalam duduknya, biasanya sore hari seperti ini ada seorang gadis kecil hampir sebaya dengannya bermain sendiri di taman itu.

Seperti halnya Vita gadis kecil itu juga selalu sendirian, tak ada teman bermain dan hanya pengasuhnya yang terlihat mendampingi dan mengawasinya bermain. Sesekali ibunya menemani itupun hanya bisa dihitung dengan jari sedangkan ayahnya tak pernah sempat mendampingi karena dilihatnya selalu sibuk bekerja, berangkat pagi dan pulang hampir larut malam.

Gadis kecil itupun seorang pemurung dan pendiam karena setiap bermain di taman ia hanya duduk termenung di ayunan tanpa sedikitpun mengayunkannya, tak tampak sedikitpun keceriaan di wajahnya. Wajahnya selalu bersandar ketali ayunan sambil menatap kolam renang itu, entah apa yang ia pikirkan.

Vita terkadang merasa kasihan dengan gadis kecil itu, pengasuhnya pun terlihat jahat sekali. Seringkali membentak bahkan terkadang memukul untuk memaksa gadis kecil itu memenuhi keinginannya. Bahkan suatu kali gadis kecil itu menangis saat jatuh terguling dari atas kuda-kudaan, padahal yang Vita lihat gadis kecil itu hanya ingin makanan yang ada ditangan pengasuhnya kalaupun diberi makanan itu dijejalkan kemulut gadis kecil itu dengan kasar. Bila ibunya melihat, bukanlah membela gadis kecil itu tapi malah ikut memarahi bahkan memukulnya sehingga gadis kecil itu menangis meraung-raung dan memanggil-manggil ayahnya. Terkadang ia juga menyebut nama seseorang, entah siapa..Vita tak tahu. Tapi ia merasa pernah mendengar nama yang disebut-sebut gadis kecil itu entah kapan ? dimana ? ia juga tak tahu.

Suatu kali di saat-saat seperti itu gadis kecil itu melihat dan menatap ke arah Vita, tatapan matanya kosong dan wajahnya tampak memelas seakan-akan minta pertolongan kepada Vita. Tapi karena Vita merasa ia juga hanya anak kecil yang seumur dengan gadis kecil itu, rasanya ia tak akan sanggup membantu. Tenaganya tentu tak akan kuat melawan pengasuh gadis kecil itu apalagi bila ibunya ikut membantu sudah pasti ia tak akan sanggup.

Hati Vita tergugah akan penderitaan gadis kecil itu, pernah ia menerobos pagar dan masuk ke taman itu untuk menemani juga mengajak gadis kecil bermain. Paling tidak ia berharap bisa berbagi keceriaan dengan gadis kecil itu tapi sungguh Vita kaget dan tak mengerti, karena saat ia mencoba mendekati dan berbicara dengannya gadis itu malah seperti ketakutan..tangannya terlihat gemetar dan wajahnyapun berubah pucat. Lalu gadis kecil itupun berlari pergi dan masuk kedalam rumah, Vita tak tahu apakah karena ancaman pengasuh atau ibunya agar tidak bermain dengan anak-anak lain sebayanya atau karena gadis kecil itu tak terbiasa dengan orang asing..?.

Suatu sore Vita kembali mencoba kembali mengajak gadis kecil itu bermain walau dilihatnya sang pengasuh ada disitu mengawasinya, tetapi gadis kecil itu tetap ketakutan dan pengasuhnyapun menarik tangan gadis itu dengan kasar untuk menghindarinya sambil membentak dan memaki Vita. " Pergi sana..! tempatmu bukan disini " maki pengasuh itu yang membuat daun telinga Vita terasa panas. Walau kesal dan marah Vita diam saja karena memang taman ini bukan miliknya, ayunan, peluncur dan kuda mainan semua milik gadis kecil itu. Ibu gadis kecil yang mengetahui Vita ada disitu juga marah dan mengusirnya lalu menarik gadis kecil berlalu masuk rumah meninggalkan Vita.

Vita merasa sakit hati dan geram, rasanya ia seperti gembel berpenyakit menular yang tak diinginkan kehadirannya. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan tempat itu tapi kuda mainan itu menarik perhatiannya. Sudah lama ia tak merasakan asiknya bermain dengan mainan itu lalu iapun menaiki dan mengayunkan kuda-kudaan itu tanpa perduli dengan beberapa pasang mata yang mengawasinya dari balik jendela. Mungkin mereka mengawasi Vita karena takut mainan gadis kecil itu akan dibawanya. Angin semilir mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang saat kuda-kudaan di ayunkan dengan kencang seakan mengejek orang-orang yang mengawasinya.

* * * * * * * * * *

Sejak kejadian itu, gadis kecil yang setiap hari bermain di taman tidak lagi kelihatan batang hidungnya padahal Vita masih setia menunggu untuk dapat bermain dengannya. Barangkali memang benar dugaan Vita sebelumnya bila ia dianggap sebagai anak yang mengidap penyakit menular sehingga gadis kecil itu masih dilarang ibu tirinya untuk main ditaman sebelum kuman-kuman penyakit hilang dari taman itu.

Sore ini bukanlah gadis kecil yang datang bermain ke taman tetapi malah seorang lelaki tua berpakaian serba hitam yang muncul. Lelaki tua itu tak pernah dilihat Vita sebelumnya, apakah lelaki itu kakek gadis kecil itu ? paman atau familinya yang lain ? Vita tak tahu. Walau lelaki tua itu berperawakan kekar dengan kumis yang melintang di bawah hidung tetapi lelaki tua itu mempunyai kebiasaan yang aneh menurut Vita, setiap sore ia membakar arang pada beberapa wadah yang terbuat dari tanah liat. Setelah arang dibakar, wadah-wadah itu ia tempatkan disetiap sudut rumah dan satu lagi diletakkan persis di bawah ayunan yang ada di taman. Vita tak tahu apa maksud dari tingkah laku lelaki tua itu , kadang-kadang terlihat ia komat-kamit sendiri seperti orang gila atau seperti berbicara dengan orang lain..entah dengan siapa ia berbicara.

Sesekali Vita juga melihat lelaki tua itu menari-nari sambil bernyanyi dengan kata-kata yang tak jelas maknanya, Pikir Vita lelaki itu tampaknya memang kurang waras. Rasanya Vita ingin tertawa melihat semua itu tapi nyanyian lelaki tua itu sungguh tidak mengenakkan, gendang telinganya tiba-tiba terasa panas ditambah asap-asap yang mengepul dari arang yang dibakar membuat dadanya sesak dan sulit bernapas. Dan Vitapun segera menyingkir jauh-jauh setiap kali melihat lelaki itu membakar arang dan mulai bernyanyi.

Situsi itu membuatnya sulit untuk masuk ke taman dan bermain, ia hanya bisa melihat dari kejauhan sambil berharap lelaki tua yang kurang waras itu segera menyingkir dari rumah itu. Hampir seminggu lamanya situasi itu berlangsung dan selama itu pula Vita tidak melihat gadis kecil itu bermain di taman, mungkin ia juga merasa seperti Vita yang tak kuat menghirup asap arang atau mendengar nyanyian orang gila itu.

Tapi sore ini lelaki tua itu tak muncul lagi, tak ada lagi arang yang di bakar dan tak ada lagi nyanyian yang menyakitkan gendang telinga. Yang kini tinggal hanyalah harumnya bunga-bunga yang ada di taman dan lembutnya semilir angin yang berhembus.

Dan baru sore inilah Vita melihat kembali gadis kecil itu pergi ke taman seorang diri tapi ia tak terlihat memainkan mainan yang ada, ia hanya bersandar di pagar kayu yang mengelilingi kolam. Ditangan kirinya tergenggam seikat bunga berwarna merah, bunga mawar kesukaan Vita. gadis kecil itu terlihat melemparkan helai demi helai kelopak bunga ke tepi kolam, wajahnya masih saja terlihat sedih dan air matanya menetes membasahi pipi.
" Maafkan aku kak..maafkan aku. Aku tak sengaja " ujarnya disela-sela tangis sambil terus memandangi air kolam. Vita tak mengerti apa maksud ucapan gadis kecil itu, mengapa ia menyebut-nyebut kakaknya.. ? siapa kakaknya.. ? selama ini ia tak pernah melihat bila gadis kecil itu mempunyai seorang kakak.

Vita mendekati gadis kecil itu perlahan, ia berpikir inilah kesempatannya untuk dapat mengajaknya bermain. Tiba-tiba pengasuh gadis kecil itu datang dan langsung merengut tangannya, karena keinginannya untuk dapat bermain dengan gadis kecil itu Vitapun mencoba menahan. Pengasuh itu terlihat marah lalu mengucapkan kata-kata yang bahasanya tak di mengerti oleh Vita, sedangkan gadis kecil itu hanya bisa menjerit dan menangis sambil memanggil-manggil ayahnya. Tak berapa kemudian ayah dan ibunya berhamburan keluar kemudian berlari menghampiri tapi Vita tetap tak mau melepaskan pegangannya.

Namun Vita tiba-tiba terhenyak saat merasakan ada sesuatu yang menyentuh punggungnya. Iapun segera berbalik dan melihat seorang kakek tua berpakaian serba putih dengan rambut panjang yang juga putih memegang pundak sambil tersenyum kepadanya.

" Vita..jangan kau ganggu lagi adikmu nak.., lepaskan tangannya.. " ujar kakek tua itu dengan lembut.
" Tapi dia harus main denganku kek, akibat perbuatannya sehingga aku jadi seperti ini " rengek Vita.
" Sudahlah nak..! dia tak sengaja saat ayunan yang ia naiki menghantam pelipismu. Lagipula itu salahmu juga karena bermain kuda-kudaan terlalu dekat. Percayalah..adikmu sangat menyayangimu, lagipula tempatmu bukan disini lagi.." sambung kakek tua itu masih dengan suara lembut.

Vita ingin berontak tetapi suara lembut dari kakek tua itu menyejukkan hatinya, ia percaya apa yang diucapkan kakek tua itu. Vitapun tak mengelak saat kakek itu menggamit lengannya dan mengajak pergi. Dilihatnya gadis kecil itu masih menangis dipelukan ayah dan ibunya, merekapun menatap Vita dengan wajah yang menyiratkan rasa kesedihan yang mendalam.

Air mata kesedihanpun satu persatu menetes mengiringi kepergian Vita dan iapun merasakan kesedihan yang sama. Namun hatinya kini sudah terasa lega dan ia berusaha tersenyum sambil melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka saat kakek itu menuntunnya menyongsong cahaya lembut nan benderang menuju kehidupannya yang baru.
Selengkapnya...

BELAHAN JIWA

Jumat, 19 Juni 2009

Te...dung wa..wa..wa
Te...dung wa..wa..wa
Satu persatu aksara terangkai lugu
Ketulusan hati mencerna maksud
Bijak sambut tawa dan tangismu

Te...dung wa..wa..wa
Te...dung wa..wa..wa
Jengkal demi jengkal langkah tertatih
Tangis menyertai jatuhmu
Tawa menyertai tarimu

Te...dung wa..wa..wa
Te...dung wa..wa..wa
Celotehmu hangatkan sanubari
Sejukkan kepala dari penat berpikir
Lekatkan pasak-pasak...kokohkan tiang-tiang
Bahtera yang mulai rapuh


T'rus lah kau melangkah
T'rus lah kau berceloteh
Pelukku kan terus menghangatkanmu
Raga dan hati kan terus menyertaimu

Selengkapnya...

JIWAKU TERBINGKAI SEPI

Kamis, 18 Juni 2009

Sahabat...
Bagai bisikan angin nan lembut
Suara mesin itu kudengar..
Bagai nyanyian jangkrik
Deru kendaraan itu kudengar..
Bagai kicauan burung-burung
Jerit tangis dan canda riang bocah-bocah..kudengar
Aku terhempas di rimba kesunyian
Jiwaku kembali terbingkai sepi..

Sahabat...
Langkahku tertatih di sela rimbunnya onak berduri
Terlalu banyak nista yang kuhirup
Terlalu banyak dusta yang kutelan
Meracuni darahku..menyayat urat-urat nadiku
Aku limbung..aku terhuyung..aku terhempas
Di lumpur hidup kehampaan
Berontak hanya kan membuatku makin tenggelam
Kucoba bertahan dalam diam

Sahabat...
Ijinkan penaku menyapamu
Ijinkan hatiku bernyanyi dalam penjara sepi
Ijinkan aku tenggelam dalam senyuman Selengkapnya...

POHON MANGGA

Minggu, 14 Juni 2009

Hari mulai menjemput malam, cahaya rembulan menyeruak di sela-sela rimbunnya pepohonan dan pekatnya malam. Nyanyian jangkrik saling bersahut-sahutan dan sesekali suara katak terdengar dari kejauhan bagai orkestra yang mengiringi sunyinya suasana kampung. Dan nyanyian jangkrik sedikit terusik oleh dua bayangan yang mengendap-ngendap dari balik semak-semak. Malam yang hanya dihiasi temaramnya cahaya bulan membuat bayangan-bayangan itu lebih leluasa menyelinap dari satu pohon ke pohon yang lain, langkah perlahan dan terlihat sangat hati-hati kemudian sesampainya dibalik sebuah pohon yang lumayan besar mereka berhenti sejenak. Tampaknya mereka mengamati situasi dan keadaan sebuah rumah tak jauh dari tempat mereka berdiri, seakan ingin memastikan bahwa keadaan sudah benar-benar aman.
" Bagaimana Yat?, sudah aman belum..?," tanya salah satu dari bayangan itu.
" Belum Ris..! sebentar lagi. Lampu tengahnya baru saja dimatikan".
Rupanya bayangan-bayangan itu adalah Dayat dan Aris, dua orang anak yang berteman dekat walau Dayat yang berumur 10 tahun lebih tua tiga tahun dari Aris. Mereka ingin mengambil buah mangga milik pak Gunarto yang sejak beberapa hari sudah mereka incar. Sebenarnya mereka sudah sering mencuri buah-buah mangga milik pak Gunarto itu tapi untuk malam ini mereka akan mencuri buah mangga dari pohon yang belum mereka cicipi sebelumnya, namun pohon yang mereka incar letaknya persis disamping rumah pemiliknya sehingga sekarang mereka lebih hati-hati bila tak mau ketahuan. Selang beberapa menit merekapun bergerak lagi, perlahan mereka mendekati pagar kebun pak Gunarto yang terbuat dari bilah-bilah bambu itu dan kemudian melompatinya tanpa menimbulkan suara. Mereka terus bergerak menuju samping rumah dan setibanya pada pohon yang dituju merekapun berhenti. Mereka sempat saling berpandangan karena pada batang pohon itu terlihat lilitan kawat yang berduri padahal kemarin belum ada.
" Wah..repot nih !" ujar Dayat sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
" Bisa nggak ?," tanya Aris. Dayat tak menjawab, sepertinya ia ragu-ragu atau sedang berpikir bagaimana caranya untuk dapat memanjat pohon itu. Kemudian ia melangkah mantap mendekati pohon itu sepertinya ia yakin dapat memanjatnya, namun saat tangannya menyentuh kawat-kawat itu tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Ia menjerit seakan menahan sakit yang luar biasa, jeritannya yang melolong terdengar menyayat hati. Aris terkesiap, dengan cepat ia segera menggapai tubuh Dayat untuk menariknya namun saat tangannya menyentuh tubuh dayat tubuhnyapun turut bergetar. Dirasakannya seperti ada sesuatu yang menariknya, darah serasa tersedot, panas dan dadanyapun terasa sesak. Menjeritpun ia merasa tak mampu, matanya mulai berkunang-kunang sebelum akhirnya merasakan sesuatu yang menerpa keras tangannya lalu jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian Aris membuka matanya, dengan pandangan sedikit nanar ia menatap satu persatu orang yang berkerumun di sekeliling balai bambu tempat ia terbaring lemah. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi, namun isak tangis ibunya mengaburkan ingatannya.
" Ibu..!," ucapnya lirih sambil memandangi paras ibunya yang sendu. Perlahan ia berusaha bangkit dari pembaringan namun tubuhnya terasa sulit digerakkan. Lemas tak bertenaga bagai daging tak bertulang, tubuhnyapun terasa ngilu dan pergelangan tangannya teras nyeri dan perih. Ibunya yang melihat Aris sudah siuman langsung memeluk anak yang sangat dikasihinya itu lalu menciuminya dengan penuh perasaan.
" Kamu tidak apa-apa nak..?," ujar ibunya sambil menyeka air matanya, Aris hanya bisa mengangguk lemah.
" Sudahlah bu!, biarkan Aris beristirahat. Sebentar lagi ia pasti sembuh," ujar pak Rt menenangkan ibunya sambil tersenyum kepada Aris. Ibunya terlihat mengerti dan sudah menghentikan tangisnya sambil mengusap-usap lembut kepala Aris. Orang-orang yang berkerumun termasuk pak Rt satu persatu mulai meninggalkan ibu dan anak itu hanya berdua saja.
" Maafkan aku bu..," ujar Aris kemudian setelah mengingat apa yang telah ia alami. Tak terasa airmatanyapun meleleh membasahi pipi. Ibunya hanya mengangguk pelan sambil berusaha menyeka air mata Aris.
" Da..Dayat.. bagaimana bu ,?" tanya Aris lagi saat ingat temannya itu. Ibunya tak segera menjawab namun kemudian dengan nada lirih ibunya mulai menceritakan apa yang terjadi. Pohon mangga pak Gunarto yang tadi malam buahnya akan dicuri oleh Dayat dan Aris ternyata sudah dililit kawat yang beraliran listrik. Maksudnya hanya untuk menakuti dan membuat jera para pencuri apalagi pohon itu baru pertama kali berbuah, namun Dayat yang saat itu terkena langsung sengatan dari aliran listrik itu tubuhnya hangus terbakar dan nyawanyapun tak melayang. Sedangkan Aris yang coba menolong sebenarnya juga ikut tersengat namun tangannya sempat dipukul dengan sebongkah kayu oleh pak Gunarto dan terlepas dari tubuh Dayat sehingga nyawanya bisa terselamatkan. Itulah sebabnya mengapa tangan Aris terasa nyeri dan ngilu saat ia mencoba bangkit dari pembaringan tadi. Pada saat itu beberapa warga datang ketempat kejadian karena mendengar suara jeritan kesakitan dari Dayat, mereka berlarian menuju asal suara. Setelah melihat apa yang terjadi, tanpa basa-basi dan banyak bertanya merekapun menghakimi dan ramai-ramai menghajar pak Gunarto hingga babak belur. Mereka tak menghentikan aksinya walau pak Gunarto sudah berteriak minta ampun dan darah sudah mengalir dari hidungnya. Para warga baru berhenti setelah bu Gunarto berteriak-teriak histeris sambil menggendong anaknya dan menangisi pak Gunarto yang tak berdaya dengan tubuh penuh luka dan beberapa gigi yang tanggal. Beberapa hari kemudian kejadian tersebut diproses pihak yang berwajib dan setelah melewati masa persidangan, pak Gunarto yang didakwa menghilangkan nyawa orang lain divonis penjara selama 25 tahun. Karena sedih dan tak tahan mendengar cibiran serta cemooh warga kampung akhirnya bu Gunarto beserta anaknya yang masih berumur 5 tahun itupun pergi dengan hati penuh luka. Rumah serta kebun dan semua harta benda yang mereka miliki telah ia jual, hingga kini tak seorangpun warga kampung yang tahu kemana mereka pergi.

* * * * * * * * * *
Senja hari ditengah angin yang berhembus sepoi-sepoi, Aris terlihat duduk di beranda depan rumahnya. Rumah yang dikelilingi beberapa pohon mangga terlihat asri dan udaranyapun terasa sejuk. Ia memang sangat menyukai buah mangga bahkan terkadang ia senyum-senyum sendiri saat teman-teman menjulukinya manggaholik, sehingga ia sengaja menanam beberapa pohon mangga yang buahnya ia konsumsi sendiri. Bibitnya kebanyakan ia beli dari Taman Buah Mekarsari walau ada beberapa yang didapat dari pemberian temannya. Beberapa pohon tumbuh rimbun dipinggir jalan umum dan kini sedang berbuah lebat dengan buahnya yang ranum. Walaupun dekat jalan umum namun tak seorangpun yang mengusik buahnya apalagi mencuri. Bukan karena takut melainkan karena malu bila sampai mencuri buah itu, karena Aris sebagai pemilik pohon itu biasanya tak segan-segan memberi siapapun yang ingin mencicipi manisnya buah mangga miliknya bahkan terkadang ia mempersilahkan bila ada yang ingin memanjat dan memetik buahnya sendiri. Hal itu dilakukannya semata-mata karena ia selalu teringat akan peristiwa beberapa tahun yang lalu. Walau sudah sedemikian lama tapi bayangan kengerian selalu menghantui benaknya apalagi peristiwa tragis itu telah merengut nyawa sahabatnya dan hampir saja membuat nyawanya turut melayang. Bila ingat peristiwa itu, ada penyesalan yang begitu dalam dihatinya. Bahkan terkadang timbul rasa dendam yang amat sangat terhadap pak Gunarto yang telah merengut nyawa sahabatnya walau akibat dari kesalahannya sendiri. " Andai pak Gunarto saat itu tak terlalu pelit untuk memberi satu atau dua mangga kepada anak-anak, tentunya peristiwa itu tak perlu terjadi " sesalnya dalam hati.
Tetapi peristiwa itu sudah lama berlalu, perlahan-lahan ia mencoba menghapus ingatan juga kenangan pahit itu dan coba melupakannya. Saat matanya menerawang dan memandangi pohon serta buah-buahnya yang ranum, matanya tertuju pada seorang lelaki tua yang berhenti dibawah pohon mangga . Tubuh yang kurus kering, pakaian lusuh dan kotor yang menempel di tubuhnya terlihat lelaki itu seperti seorang gelandangan yang sudah lama tidak pernah bersentuhan dengan air. Lelaki itupun kemudian duduk dibawah pohon mangga miliknya, saat caping yang menutup kepalanya dilepas tampaklah rambut yang telah banyak dipenuhi uban. Ia duduk di akar-akar pohon yang menyembul keluar, caping digunakannya untuk mengibas-ngibas tubuhnya yang tampak dihiasi peluh karena sengatan sinar matahari. Mungkin ia duduk melepaskan lelah atau sekedar berteduh sambil menghirup udara sejuk dibawah rimbunnya pohon mangga itu. Sebentar-sebentar wajahnya menengadah keatas, memandangi buah-buah mangga yang menggelayut di atas kepalanya. Semua tingkah laku orang tua itu tak lepas dari perhatian Aris.
" Siapa mas..?," tanya Nita istri Aris ketika melihat orang tua yang sedang diperhatikannya.
" Nggak tahu!, barangkali pengemis yang sedang ingin berteduh" jawab Aris.
" Pernah melihat orang itu?"
" Belum..,tapi biarkan saja. Eh..ibu kemana ,?" Aris balik bertanya.
" Bilangnya sih.. mau kepasar !".
" Lho !, bukan kamu saja yang kepasar. Kasihan kan ibumu..!".
" Ah..biar saja mas. Ibu yang mau kok !, katanya sekaliat lihat-lihat suasana pasar. Aku kedalam dulu ya..mas! meneruskan masak," ujar Nita sambil berlalu meninggalkan Aris. Aris hanya mengangguk sambil meraih gelas teh hangat yang tadi dibawakan istrinya. Ia ingat ibu mertuanya, walau ucapannya selalu lemah lembut namun ia merasa sulit sekali merasa akrab. Ibu mertuanya terlalu pendiam bahkan bila tak diajak bicara ia tak akan bicara, padahal Aris ingin ibu mertuanya itu merasa kalau ia anak kandungnya sendiri. Sejak ibu kandungnya meninggal beberapa tahun yang lalu, ia ingin ibu mertuanya menggantikan posisi ibu kandungnya. Tempat ia mengadu, tempat ia berkeluh kesah. Tapi semua keinginannya sulit terwujud dengan sikap diam yang selalu diperlihatkan ibu mertuanya itu padahal ia telah 2 tahun menyunting Nita sebagai istrinya. Aris mengambil sebatang rokok dan menghisapnya, pandangannya kembali tertuju ke lelaki tua tadi. Dilihatnya ia masih duduk di bawah pohon itu namun sekarang mulai merebahkan tubuhnya dan bersandar ke batang pohon yang memang cukup besar. Sambil terus mengibas-ngibaskan capingnya, mata orang tua itupun masih tak lepas memandangi buah mangga diatasnya. "Ah..barangkali orang tua itu ingin makan mangga. Biar aku ambilkan..", ucap Aris dalam hati. Lalu iapun beranjak dari duduknya dan kemudian melangkah mendekati orang itu. Merasa ada yang menghampiri orang tua itupun buru-buru bangkit.
" Maaf nak !, bapak telah lancang duduk disini," ujarnya parau sambil membungkukkan tubuhnya.
" Oh..nggak apa-apa kok pak, silahkan ! kalau mau istirahat. Saya justru ingin menawarkan buah mangga itu, barangkali bapak ingin mencoba mencicipinya ".
" Terimakasih nak, bapak cuma mau berteduh dan istirahat saja ".
" Kalau mau juga nggak apa-apa kok pak. Nanti saya ambilkan ".
" Sungguh nak..saya cuma mau istirahat, terimakasih ".
" Memangnya bapak mau kemana ?, kelihatannya lelah sekali.." tanya Aris kemudian. Orang tua itu tak segera menjawab, ia menghela napas panjang dan pandangan matanya terlihat kosong. Tampak sekali gurat-gurat kesedihan diwajahnya, Aldi hanya bisa memandangi raut wajah orang tua itu dan menunggu apa yang akan diucapkannya. Aldi tak mengerti mengapa pertanyaan basa-basinya malah membuat orang tua itu terlihat sedih.

" Saya tak tahu nak..hendak kemana, tak ada tempat yang saya tuju. Kadang saya hanya ikut saja kemana kaki saya melangkah ".

" Memangnya bapak tidak punya keluarga sehingga pergi tanpa tujuan ?"

" Yah..begitulah nak, saya memang tak punya siapa-siapa lagi. Sejak saya meninggalkan keluarga beberapa tahun lalu, kini saya tidak tahu lagi keberadaan mereka ," ujar orang tua itu dengan nada sedih. Aris merasa terharu mendengar penuturannya. Aris semakin tertarik mendengar penuturan orang tua itu, walau dalam hati ia merasa tak enak apalagi bila membuat orang tua itu semakin sedih namun rasa penasaran tak kuasa ia bendung.

" Mengapa bapak tega meninggalkan keluarga bapak?" Orang tua itu kembali menghela nafasnya dalam-dalam, sepertinya ada beban yang begitu berat menghimpit dadanya. Ada kegetiran tersirat dari setiap helaan nafasnya, terlihat jelas saat bulir-bulir air mata membasahi pelupuk mata yang keriput itu. Melihat itu Aris mengurungkan niatnya untuk tahu lebih banyak tapi orang tua itu memulai ceritanya..

" Sebenarnya saya tidak meninggalkan mereka nak, saya..." cerita orang tua itu terhenti saat tiba-tiba...

" Mas Gun..!, kau kah itu..mas Gun ?" seru ibu mertuaku dari kejauhan. Orang tua itu terhenyak sepertinya ia sangat mengenali suara itu, iapun menoleh ke asal suara dan kemudian menyorongkan wajahnya seakan-akan ingin memperjelas penglihatannya lalu ia segera bangkit dari duduknya.

" Sunarti..!" balas orang tua itu dengan suara parau.

" Mas Gun..!" ibu mertua Aris mulai berteriak sambil menangis dan kemudian berlari ke arah Aris dan orang tua itu berada. Keranjang belanjaan dilepaskannya, terhempas ke tanah dengan tomat-tomat yang berhamburan keluar dan mencelat kesana-kemari. Orang tua itupun beranjak hendak menyambut, namun akar-akar pohon mangga yang menyembul itu menghambat langkahnya. Kakinya tersangkut dan tubuhnyapun terhempas keras dengan kepala membentur akar-akar pohon yang lain. Melihat itu ibu mertua Aris menjadi semakin histeris, kemudian ia bersimpuh dihadapan tubuh ringkih yang tengah terbaring lemah, mengangkat kepala orang tua itu lalu memangkunya.

" Mas..Gun!, bangun mas..!banguuun..!" tangis ibu mertua Aris sambil mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu. Aris terhenyak, kejadian yang begitu cepat membuatnya tak mampu berbuat apa-apa. Kakinya serasa terpatri tak bergerak menyaksikan peristiwa itu, hatinya pedih dan trenyuh melihat ibu mertuanya namun sejuta tanya juga menggayut dibenaknya saat itu. Siapa orang tua itu?

" Mas Gun! bangun mas..Nita..Nita!" teriak ibu mertuanya. Nita yang memang hendak keluar setelah mendengar kegaduhan didepan rumah segera menghampiri.

" Ada apa bu?" tanyanya dengan nada bingung apalagi melihat ibunya menangis. Matanya melirik Aris yang diam dalam kebingungan.
" Ini ayahmu nak..ayahmu!" ujar ibunya sambil terus menangis. Nita yang bingung menjadi terkejut setelah mengetahui orang tua yang terbaring lemah itu adalah ayahnya. Iapun segera memeluk orang tua itu erat-erat, kini iapun turut histeris sambil mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu dan tangisannya begitu menyayat hati. Aris tak kalah terkejutnya, selama ini ibu mertuanya selalu bilang bahwa ayah Nita telah lama meninggal tapi kini..dan Arispun semakin terkejut..

" Dialah yang membuat ayahmu begini!" ujar ibu mertua Aris sambil menunjuk-nunjuk kearah Aris. " Aku..!" tanya Aris dalam hati.

" Suamimu yang membuat ayahmu dipenjara. Suamimu yang membuat hidup kita begini..!" teriak histeris ibu Nita. Bagai palu godam menghantam dadanya Aris tersentak dan membuatnya sesak. Wajahnya tiba-tiba pucat sepucat mayat setelah mendengar ucapan-ucapan ibu mertuanya. " Mas Gun itu..pak Gunarto ? orang yang telah merengut nyawa sahabatnya!". Dan Nita adalah...ah!..seakan-akan ia tak percaya dengan semua yang telah terjadi, semua bagai mimpi baginya. Ternyata ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menggayut dalam benaknya selama ini. Kini dia hanya diam merunduk bagai pesakitan menunggu vonis hakim, bagai menunggu algojo melingkarkan tali gantungan dilehernya. Namun dalam benaknya ia teringat kalau pohon mangga ini bibitnya ia ambil dari pohon yang hampir merengut nyawanya.
Selengkapnya...

SEPEDA MOTOR BARU

Selasa, 09 Juni 2009

Suara raungan sepeda motor yang knalpotnya sudah dimodifikasi tiba-tiba melintas dijalan depan rumah bang Samin. Bang Samin yang sedang asik menyeruput kopinya menjadi terkaget-kaget dan kopi yang masih panas itupun tumpah dan hampir saja membasahi sarung yang membelit tubuhnya.
" Brengsek..., bocah sialan...!!," umpatnya marah, sambil menyeka air kopi yang tumpah diatas balai bambu yang ia duduki.
" Biarin aja bang..!, namanya juga anak baru gede...kagak usah diambil ati..," ujar Munah istri bang Samin mencoba mencairkan amarahnya.
" Ah..elu, bukannye ngebantuin gua..malah ngebelain ntu anak. Sebenernye kalo ntu anak bukan anaknye pak Romli, ude gua labrak dari kemaren-kemaren..,! sambung bang Samin emosi dengan bahasa betawinya yang kental , dan mpok Munah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku suaminya itu.

Bila diingat-ingat memang bang Samin jadi serba salah dan rasa-rasanya dia tak berani marah juga tak pantas marah atas tingkah laku si Arfan anaknya pak Romli itu. Dahulu jalan yang menghubungkan kampung dengan jalan raya itu hanyalah jalan setapak berupa tanah merah dan berbatu-batu, menjadi becek juga licin saat musim penghujan datang. Tetapi kini jalan itu terlihat mulus terbalut cor-coran beton, semua karena inisiatif juga dari dana pribadi pak Romli lah jalan itu terlihat seperti sekarang ini.Dan jalan yang dahulu jarang dilewati kini menjadi ramai dengan hilir mudiknya kendaraan roda dua baik dari kampung bang Samin sendiri maupun dari maupun kampung lainnya. Bahkan sebagian warga yang selama ini menganggur mulai memanfaatkan fasilitas jalan yang mulus juga ramainya orang hilir mudik dengan menjadi pengojek, dan bang Samin serta istrinyapun secara tidak langsung ikut menikmati rejeki dengan berjualan nasi uduk dan beraneka macam makanan gorengan didepan rumah mereka yang hanya beberapa jengkal saja jaraknya dari jalan itu. Penghasilan merekapun bertambah apalagi kehidupan mereka selama ini hanya bergantung dari hasil kebun juga kolam ikan yang hasilnya tidak seberapa.

Namun dengan ramainya hilir mudik sepeda motor setiap harinya itu dan juga banyaknya tetangga yang membeli atau kredit sepeda motor membuat mpok Munah latah berkeinginan memiliki motor juga, sehingga beberapa hari ini dia terus merajuk kepada bang Samin agar segera membeli atau kredit motor.
" Uang mukanya murah kok bang..!" rajuk mpok Munah suatu sore saat membereskan dagangannya.
" Iye, uang mukanya murah. Tapi nyicilnya gimane..?, buat makan aje masih ngos-ngosan..," ujar bang Samin sambil mengunyah singkong goreng yang mulai dingin sisa jualan istrinya.
" Ah abang, kalo ada motor kan enak. Aye kagak perlu lagi naek turun angkot kalo mau pergi ke pasar. Mas Nano yang cuma jualan ketoprak aje bisa, masak kita ngga bisa bang..!' sambung mpok Munah.
" Ah elu kayak anak kecil aje, kagak boleh ngeliat orang punya ape-ape. Udah..ah..!, nanti gua pikirin..," jawab bang Samin sedikit kesal sambil terus menyeruput kopinya.

Bang Samin pantas berkesal hati karena ia sangat menyadari batas kemampuannya. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap, sehari-hari ia hanya memeriksa kebun juga kolam ikan kecil dipinggir sungai yang tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia ikut tetangganya yang berprofesi sebagai tukang bangunan, untuk membantu pekerjaan memperbaiki atau merenovasi rumah dan juga membangun rumah baru. Hasilnya memang lumayan tapi itupun dalam setahun bisa dihitung dengan jari seberapa sering ia ikut tetangganya itu. Sehingga wajar kalau bang Samin berpikir seribu kali bila ingin mengajukan kredit sepeda motor, " mau bayar pakai apa ?," pikirnya. Tapi lama kelamaan atas desakan dan rajukan mpok Munah, iapun akhirnya mengalah dan berjanji akan memenuhi keinginan istrinya itu. Iapun berencana uang muka untuk kredit motor tersebut nantinya diambil dari hasil panen dari kolam ikannya yang tak seberapa besar . Bahkan ada seorang tengkulak yang sudah setuju untuk menyetor uangnya sebagai panjar dari ikan-ikan gurame yang akan dipanen nanti. Untuk membayar cicilannya, bang Samin juga berencana jadi tukang ojek seperti tetangganya. Alangkah senangnya hati mpok Munah mendengar rencana-rencana yang diungkapkan bang Samin dan iapun berjanji akan membantu membayar cicilan kredit dengan menyisihkan keuntungan dari hasil jualan nasi uduknya.

* * * * * * * *


Malam itu udara terasa dingin sekali, semilir angin yang kian malam kian kencang menambah hawa dingin kian menusuk pori-pori kulit. Langitpun terlihat hitam pekat tanpa bintang, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Bang Samin yang sejak sore tadi merasakan tubuhnya demam, makin menggigil tubuhnya walau sudah diselimuti beberapa lembar kain oleh mpok Munah. Sebentar kemudian suara halilintar menggelegar diiringi rintik-rintik hujan yang kian lama kian deras. Mpok Munah segera berlari kedapur mengambil beberapa peralatan dapur, panci, ember atau apa saja untuk digunakan sebagai wadah air hujan yang menembus sebagian atap rumah yang bocor. Dengan napas sedikit terengah mpok Munah kembali menemani bang Samin yang kelihatan semakin menggigil kedinginan, namun tiba-tiba bang Samin bangkit dari tidurnya.
" Ada apa bang ,? " tanya mpok Munah bingung.
" Empang kita Mun...!, jangan-jangan kena banjir," ujar bang Samin agak panik. Mpok Munah tercekat mendengar ucapan suaminya itu, sambil mengucapkan kalam Illahi tangannya memegang dada yang tiba-tiba berdetak kencang. Segera ia turun dari tempat tidur dan kemudian mendekati jendela, dilihatnya butir-butir air yang turun dari langit seakan berlomba-lomba menghujam dan membasahi bumi dengan riak-riak genangan air ditanah terlihat seakan-akan berupa tarian kemenangan.
" Nggak terlalu deres kok bang...," ujarnya menghibur diri.

Padahal dalam hatinya ia sangat takut apa yang dikhawatirkan suaminya benar-benar terjadi. Kalau itu sampai terjadi, pasti ikan-ikannya akan hanyut terbawa air dan hilanglah harapannya untuk segera memiliki sepeda motor. Mulutnya mulai komat-kamit memanjatkan doa agar terhindar dari musibah yang ia takutkan akan terjadi, sedangkan bang Samin hanya tercenung dan pasrah. Dengan kondisi tubuhnya yang sakit seperti ini ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berharap hujan yang turun akan segera berakhir, karena semakin lama hujan turun biasanya air sungai akan meluap dan menyebabkan banjir. Apalagi sekarang banyak warga yang tak perduli lagi akan kebersihan lingkungan dengan sembarangan membuang sampah bukan pada tempatnya terutama ke sungai sehingga aliran air tersumbat akibat sampah yang menumpuk dan banjirpun tak bisa terelakkan lagi. Namun harapannya tidak terkabul, ternyata hujan terus turun dan baru berhenti pada saat menjelang subuh.


Pagi-pagi sekali bang Samin segera bergegas menuju kolam ikannya, sakit badannya tak ia hiraukan lagi. Mpok Munah yang khawatir akan kondisi suaminya ikut menemani, ia juga ingin tahu nasib kolam mereka beserta ikan-ikannya. Perlahan mereka manapaki jalan yang menurun dan licin, perasaan was-was dan khawatir menyertai langkah-langkah mereka. Sesampainya ditempat tujuan apa yang mereka takutkan benar-benar terjadi, dari ketinggian terlihat air menggenangi seluruh permukaan sawah dan kolam-kolam ikan milik warga termasuk kolam ikan milik mereka. Air sungai yang meluap menggenangi seluruh permukaan sehingga menyerupai hamparan danau kecil. Bang Samin dan mpok Munah termangu, tubuh mereka lemas tak berdaya bahkan mpok Munah tak bisa menahan isak tangisnya.
" Bagaimana ini bang..?" ujar mpok Munah disela tangis sambil mengguncang-guncangkan tubuh suaminya. Bang Samin hanya mematung dan diam seribu bahasa, ia tak bisa berbuat apa-apa karena ketinggian air sungai yang kira-kira setinggi lutut diatas kolam rasanya sangat mustahil baginya bisa menyelamatkan ikan-ikannya. Kolam-kolam ikan yang ada terlihat sudah menyatu, ditambah dengan derasnya air sungai sudah dipastikan ikan-ikannya ikut hanyut terbawa arus. Hilang sudah mimpi-mimpinya untuk dapat menambah penghasilan dengan menjadi tukang ojek, belum lagi uang panjar dari tengkulak yang sebagian sudah habis untuk menambah modal dagang istrinya. Sepeda motor yang dimpikan tak dapat malah kini ia harus memutar otak untuk mencari cara mengembalikan uang itu.

Dengan berjalan lemas seiring musnahnya angan, harapan juga mimpi-mimpi merekapun berjalan pulang. Sepanjang jalan mpok Munah tak kuasa menghentikan isak tangisnya, hanya bang Samin yang terlihat berusaha tetap tabah sambil terus membujuk istrinya itu. Saat tinggal beberapa langkah lagi mereka sampai dirumah, tiba-tiba terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah jalan raya. Sejenak mereka menghentikan langkah dan saling berpandangan, menerka-nerka dalam hati apa gerangan yang telah terjadi. Kemudian mereka mempercepat langkah menuju rumah, dijalan depan rumah terlihat beberapa orang berlarian menuju jalan raya dan tak berapa lama kemudian ada yang berlari kearah yang berlawanan sambil berteriak..
" Ada tabrakan..ada tabrakan. Anak pak Romli tabrakan...!," teriak orang itu sambil terus berlari menuju rumah pak Romli untuk memberi kabar.
" Tabrakan..!?" ujar bang Samin dan mpok Munah hampir bersamaan,
akhirnya merekapun ikut-ikutan berlari menuju jalan raya tempat kecelakaan itu terjadi.

Benar saja, sesampainya disana sudah banyak terlihat warga berkerumun tepat didepan gang. Terdengar mereka berbincang, saling berargumen dan masing-masing saling mengutarakan opini atau pendapat ikhwal kejadian itu. Ada yang prihatin dengan apa yang terjadi tetapi ada juga yang berbisik-bisik dan diam-diam mensyukuri setelah tahu siapa yang mengalami kecelakaan itu. Sebagian dari mereka mengungkapkan kalau Arfan anak pak Romli itu membawa motornya dari arah kampung menuju jalan raya dengan kecepatan yang cukup tinggi seperti yang biasa ia lakukan. Memang kondisi jalan agak menurun, entah karena rem motornya yang blong atau jalan yang licin akibat hujan yang turun tadi malam terlihat motor tetap melaju dan memotong jalur jalan raya. Pada saat itu datang sebuah truk dari arah barat juga meluncur dengan kecepatan tinggi sehingga tabrakanpun tak bisa dihindarkan. Sepeda motor yang dibawa Arfan hancur dihantam truk dan terpental kurang lebih delapan meter bersama pengendaranya, yang lebih parah lagi saat itu Arfan tidak menggunakan helm untuk melindungi kepalanya. Maka dapat dibayangkan tubuhnya tergolek ditengah jalan dengan kondisi yang mengenaskan, kepala hampir remuk terhantam aspal jalan dan darah terus mengalir membasahi sekujur tubuhnya, dari hidung, telinga juga batok kepalanya. Mpok Munah yang penasaran terus menarik lengan bang Samin dan menyeruak ditengah-tengah kerumunan orang-orang untuk melihat kondisi Arfan.

Setelah mendekat disaksikannya tubuh Arfan bersimbah darah, orang-orang yang ada disekelilingnya terlihat hanya menonton dan tak ada satupun yang berani menyentuh tubuh Arfan walau ada yang berinisiatif menutupi tubuh Arfan dengan beberapa lembar koran. Mpok Munah bergidik menyaksikan semua itu, bulu kuduknya merinding...perutnya terasa mual dan kepalanya mulai terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan bila tak segera ditarik menjauh oleh bang Samin.
" Bang..., nggak usah beli motor ya..!" ujar mpok Munah dan bang Saminpun hanya mengangguk.
Selengkapnya...

DIA...BUNGA LIAR ( TERSENYUM )

Jumat, 05 Juni 2009

Rimba alang dan rerumputan...tahan jemari kaki
Gugur daun tercurah...hambat langkahku
Deru angin mengumpat...memaki...menghujat
Teguh hati tak perduli...tak ciutkan nyali
Kan tetap kubawa...kan tetap kujaga bungaku
Bungaku hanya tersenyum

Kubaringkan dilapang hamparan hati
Tetes embun kasih tersiram dari raga dan jiwa
Pagar-pagar hati telah terpatri
Tak sudi kumbang dan kupu menghampiri
Dahaga ini hanya milikku
Bungaku masih tersenyum

Saat mendung menggayut
Hamparan kabut halangi asa
Menggapai-gapai dalam butaku
Tapi selarik cahaya memberi jawab
Kumbang dan kupu menjamah...menghisap sari
Menggelinjang senang berkumur riang
Tak ada tolak...tak ada paksa
Bungaku tetap tersenyum

Tertegun diam dan termangu
Limbung jiwa dalam bingung dan geram
Sesal hati tak perlu simpati
Satu tanya tak perlu jawaban
Dan bungaku masih tetap tersenyum
Mengejekku dalam bimbang Selengkapnya...