KURELAKAN DIA BAHAGIA

Kamis, 29 Juli 2010


Sore ini langit terlihat mendung, rintik-rintik hujan yang turun sejak siang hari masih saja menghiasi langit. Mataharipun seakan telah kembali ke peraduan yang berselimutkan awan gelap. Ferdi duduk terpaku diatas kursi rodanya, matanya menatap lurus ke arah kolam-kolam ikan yang letaknya tak jauh dari pondok kecilnya. Rintik-rintik hujan yang jatuh diatas permukaan kolam menimbulkan riak-riak kecil yang tak henti bergerak, terus memendar dan menyebar keseluruh permukaan kolam. Ferdi menaikkan resleting jaket yang dikenakannya sampai sebatas leher, coba menghindari semilir angin dingin yang coba menelusup dan mencari celah untuk bercumbu dengan pori-pori kulitnya. Lalu ia mengusap-usap pipinya untuk mendapat sedikit kehangatan namun saat mengusap bekas luka yang ada dipipi kanannya, Ferdi malah teringat peristiwa yang tak akan pernah bisa dilupakannya. Peristiwa yang kini membawanya duduk disini, diatas kursi roda ini. 

Braaakkkkk....!!! Suara hantaman terdengar begitu keras dan menghentak warga yang ada disekitar. Sontak wargapun berhamburan mendekati asal suara dan mencari tahu apa yang terjadi. Rintik-rintik hujan gerimis yang mulai terasa bertambah deras tak menghalangi keingin tahuan mereka. Terlihat sebuah kijang Innova ringsek dan hampir tak berbentuk, teronggok dipinggir rel kereta api tak jauh dari pintu perlintasan kereta api. Bagian depannya hancur dan terlihat seorang pengemudi terkulai lemas dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Tubuh dan kakinya terhimpit bagian depan yang ringsek dan butuh hampir 2 jam untuk mengeluarkan tubuhnya dari dalam kendaraan.
" Tidak..tidak, ini tidak mungkin. Tidaaaakkk...!!" Teriak Ferdi histeris sambil meronta-ronta, setelah mengetahui kedua belah kakinya diamputasi sampai sebatas lutut. Ibunya hanya bisa menangis sambil memeluk tubuh Ferdi. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, semua larut dalam kesedihan. Hanya ayah Ferdi yang terlihat lebih tabah dan terus mencoba menenangkan Ferdi dengan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.

Waktu 3 bulan rasanya terlalu singkat bagi Ferdi untuk bisa menerima kenyataan pahit yang harus dialaminya. Ia begitu shock dan tak siap menerima semua itu, berjuta tanya selalu menghantui benaknya. Bagaimana kehidupannya kelak ? Bagaimana pekerjaannya juga masa depannya ?. Padahal dengan kerajinan serta ketekunannya dalam bekerja, ia baru saja menerima promosi jabatan di kantornya. Namun kini semua berantakan. " Ini semua gara-gara kamu Hen..!!" Umpat Ferdi saat pertama kali menyadari dirinya sudah cacat. Wajar jika Ferdi berpikir seperti itu karena sebelum kejadian ia sempat bertengkar hebat melalui telepon dengan Heni kekasihnya. Lalu iapun terburu-buru membawa kendaraan untuk menemui Heni dan dalam perjalanan ia tak menyadari telah menerobos pintu perlintasan kereta api sehingga terjadilah kecelakaan itu. Namun kini ia menyadari rasanya tak pantas menyalahkan Heni, ia sama sekali tak bersalah. Barangkali pertengkaran dengan Heni hanya merupakan media untuk Ferdi menemui takdirnya dan barangkali pula memang sudah takdirnya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kedua kakinya buntung atau cacat. Sekarang, perlahan Ferdi mulai membangkitkan semangat hidupnya. Ia bertekad menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Ferdipun mencoba menghapus bayang-bayang keraguan akan masa depannya, menghapus bayang-bayang masa lalu. Mencoba melupakan cintanya dan melupakan Heni. " Biarlah..ia tak perlu tahu apa yang terjadi padaku. Rasanya aku sudah tak pantas dan layak untuknya dan biarlah ia menemukan kebahagiaan walau bukan aku yang ada disisinya kelak. Walau ia tahu, cinta tidak semata-mata diukur dari fisik seseorang namun ia tak mau berharap. "Barangkali lebih baik begini, baik untukku juga baik untuknya " Gumam Ferdi dalam hati.

Dan kini Ferdi mencoba untuk mulai menikmati kehidupan barunya. Mencoba menyepi dan menjauh dari hiruk-pikuk ibukota dengan membeli sebidang tanah di suatu daerah yang sejuk nan asri. Sebenarnya ini sudah lama diidam-idamkannya, tinggal didaerah yang sejuk, sepi dan jauh dari keramaian. Mendengar gemericik air dari sungai yang mengalir begitu menentramkan jiwanya. Suasana seperti itu membantunya untuk mengeluarkan ide-ide yang ada dalam benak untuk dijadikan sebuah tulisan, satu hoby yang kini mulai mengisi hari-harinya. Selain itu, dengan dibantu beberapa karyawannya ia membuat beberapa kolam ikan sebagai sumber penghasilan. Bagi Ferdi, apapun akan dilakukannya dan cacat ditubuh tak akan menghalanginya untuk berbuat sesuatu.

* * * * * * 

Sambil bersandar di jok mobilnya yang lembut, Heni memandangi pemandangan yang dilewatinya. sesekali ia tersenyum dan melirik Kusuma, suaminya yang sedang mengendarai mobil. Heni memang terlihat begitu sumringah karena hari-harinya sebagai pengantin baru selalu diisi dengan kebahagiaan, setidaknya itu yang dirasakannya kini. Apalagi ia merasa sangat beruntung memiliki seorang suami yang lembut dan penuh perhatian seperti Kusuma. Barangkali memang pembawaan dari suaminya itu yang berprofesi sebagai seorang dokter yang kesehariannya harus bersikap sabar dan perhatian terhadap pasien-pasiennya. Hari ini Kusuma mengajak Heni memancing, padahal ia sendiri sama sekali tidak mempunyai hoby memancing. Kusuma hanya ingin menyenangkan hati Heni karena ia tahu istrinya itu sangat suka memancing. Sedangkan bagi Heni, sebenarnya memancing justru mengingatkannya pada sosok Ferdi. Mantan kekasih yang meninggalkannya begitu saja tanpa kabar juga pesan, dan karena Ferdilah ia menyukai dan mendapatkan kesenangan dari memancing. Tapi Heni tak mau larut dalam kenangan itu.
" Memangnya mau memancing dimana sih mas, masih jauh ya ?" Tanya Heni sambil mencoba mengalihkan ingatannya.
" Ooh..nanti kita memancing di tempat temanku, Mas Anton namanya. Tenang saja...ngga lama lagi sampai kok, tempatnya juga enak. Aku jamin kamu akan kerasan disana " Jawab Kusuma sambil tersenyum dan disambut senyum pula oleh Heni yang coba kembali menikmati pemandangan. Dan tak lama kemudian mereka pun sampai ditempat yang dituju.
" Nah..kita sudah sampai ! coba kamu lihat, sudah banyak terlihat pemancing disana" Ujar Kusuma pada Heni. Heni tak langsung menjawab, matanya menatap beberapa pemancing yang duduk menghadapi jorannya bahkan ada yang terlihat sedang menarik jorannya karena kail telah mendapatkan ikan. Senyum Heni mengembang, rasanya ingin segera ia merasakan sensasi menarik ikan seperti yang pernah ia rasakan dulu.
" Pagi pak..! bisa bertemu dengan Mas Anton..?" Tanya Kusuma pada seorang lelaki yang sedang berdiri mengawasi para pemancing.
" Oh..Pak Anton, beliau ada disana mas..! Nah..itu yang sedang memberi umpan ikan.." Ujar lelaki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya. Heni menatap kearah yang ditunjuk, ia melihat seorang lelaki yang duduk diatas kursi roda  sedang melemparkan sesuatu kearah kolam ikan.
" Temannya Mas Kusuma, yang itu mas ?" Tanya Heni penasaran karena tak menyangka teman yang dimaksud adalah seorang yang cacat.
" Ya..itu Mas Anton ! Anton Ferdiansyah lengkapnya. Dulu ia pasienku, kebetulan aku yang menanganinya saat ia mengalami kecelakaan. Dan kebetulan pula aku sangat kagum akan semangatnya karena dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, ia tak putus asa dan gampang menyerah.." Jelas Kusuma sambil menggandeng tangan Heni untuk menghampiri orang yang dimaksud. Heni sedikit terkesiap dan hampir saja menghentikan langkahnya saat mendengar nama Anton Ferdiansyah, nama itu seperti akrab ditelinganya. Dan hatinya terus bertanya-tanya bahkan sampai mereka persis dibelakang lelaki itu.

" Selamat pagi Mas Anton..!" Sapa Kusuma ramah. Lelaki yang disapa perlahan menolehkan kepalanya dan memutar kursi rodanya. Heni terkesiap dan terpaku, Ferdi...? rasanya tak percaya ia dapat melihat kembali wajah yang begitu dikenalnya. Iapun langsung bergidik ngeri melihat parut diwajahnya dan bertambah terkejut ketika melihat kedua belah kakinya buntung sebatas lutut. Mengapa Ferdi ? Apa yang terjadi ? Pertanyaan yang langsung menghiasi benaknya. Terkejut karena pertemuannya kembali dengan Ferdi dan juga shock melihat keadaannya, membuat Heni limbung dan kemudian tak sadarkan diri. Ferdi hanya bisa terpaku melihat itu karena iapun tak menyangka sama sekali bisa bertemu dengan Heni kembali, namun hanya satu yang diharapkannya.... " Semoga Kusuma hanya menganggap Heni pingsan karena shock melihat fisikku dan bukan shock karena bertemu kembali denganku mantan kekasihnya, dia tak perlu tahu itu. Aku tak mau merusak kebahagiaan mereka " Gumam Ferdi dalam hati.

Cerpen ini sengaja dibuat untuk mengikuti kontes yang diadakan oleh  Sang cerpenis yang di dukung oleh VIXXIO  , untuk menyambut postingan mba Fanny yang kini hampir mencapai 1000 postingan.

Seandainya menang, saya pilih novel Larasati ( Pramoedya Ananta Toer ). Biar bisa belajar menulis yang baik dari seorang sastrawan hebat.

Bagi sahabat-sahabat yang ingin ikut, silahkan mampir Di Sini.  
Selamat beraktivitas....salam hangat selalu.

Selengkapnya...

BIBI SUMIRAH ( 2 )

Rabu, 07 Juli 2010

Tidak seperti biasanya, malam ini selepas Maghrib para jamaah baik bapak-bapak atau ibu-ibu yang melaksanakan sholat berjamaah tidak langsung kembali ke rumah tak terkecuali bibi Sumirah.  Mereka duduk bersila berhadapan dengan pak haji Sunardi sesepuh kampung yang juga selalu menjadi Imam saat sholat berjamaah. Saat ini disisi pak Sunardi duduk seorang pemuda yang berhias jenggot dan brewok yang tercukur rapi diwajahnya, senyum yang selalu menghias dibibirnya mengesankan kalau dia adalah seorang yang ramah.

" Saudara-saudara, malam ini  kedatangan  tamu . Rasanya kita merasa beruntung karena saudara kita yang ada disamping saya ini adalah seorang ustaz, barangkali beliau juga tidak berkeberatan untuk berbagi ilmu  yang kita harapkan dapat meningkatkan kualitas keimanan kita. Silahkan pak ustaz.." Ujar pak haji Sunardi. Anak muda yang dipanggil ustaz itupun tersenyum.
" Terimakasih pak haji atas kesempatannya. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati, saya amat tersanjung disebut sebagi ustaz tapi terus terang saya bukanlah ustaz seperti yang pak haji sebutkan. Ilmu agama saya rasanya belum cukup kuat untuk menyandang gelar seberat. Saya memang sempat mengenyam pendidikan di pesantren tapi sebenarnya belum selesai.." Ujar lelaki itu sambil mengumbar senyum. Para jamaahpun ikut tersenyum, kemudian ada beberapa diantara mereka yang saling berbisik. Entah apa yang mereka bisikkan ? mungkin cara lelaki itu berbicara, perawakan lelaki itu atau mungkin juga penampilannya.
 " Bapak-bapak...ibu-ibu, saya berada disini sekali lagi bukan untuk berceramah karena sekali lagi saya berterus terang kalau ilmu saya belumlah cukup untuk itu. Saya hanya ingin mencoba menyampaikan kisah hidup saya yang bagi saya itu terasa sangat pahit. Mudah-mudahan kisah yang saya sampaikan nanti dapat mengandung hikmah dan berguna untuk menambah nilai keimanan kita " sambung lelaki itu yang disambut amin oleh para jemaah dan lelaki itupun memulai kisahnya 

Ia mengisahkan kehidupannya sejak kecil sampai dewasa, mengisahkan siapa yang mengajarinya tentang nilai-nilai agama juga mengisahkan tentang kehilangan orang tua hingga pengembaraannya mencari seseorang yang ia yakini dapat memberikan kebahagiaan. Para jemaah mendengarkan  dengan tekun apa yang dikisahkan lelaki itu. Ada kesedihan  dari kisah yang disampaikannya dan sebagian ibu-ibu tak urung meneteskan airmata keharuan. Diantara ibu-ibu itu bibi Sumirah justru merasa bingung. Ia merasa ada bagian dari kisah yang  diceritakan lelaki itu hampir mirip dengan pengalaman hidupnya saat menjadi pembantu rumahtangga pada sebuah keluarga. Hatinya diliputi penuh tanda tanya. Sambil meneruskan kisahnya lelaki itu menyapu pandangan ke arah para jemaah, satu persatu ia pandangi hingga pandangannya jatuh pada sosok bibi Sumirah. Dadanya bergejolak dan terlihat airmata mulai menggenangi pelupuk matanya tapi ia tetap tersenyum dan melanjutkan kisahnya.

" Maaf..bukan saya bermaksud sombong  tapi kalaulah boleh saya katakan, dulu saya termasuk anak dari keluarga berada. Tapi setelah ayah  ibu saya melakukan kesalahan dan terakhir mengusir pembantu rumah tangga kami, keluarga kami bagai mendapat karma. Keluarga kami berantakan, ayah saya jatuh sakit dan kemudian meninggal karena perusahaan kami bangkrut. begitu juga dengan ibu saya, beliau hampir gila karena tak siap menerima kenyataan hidup dan kemudian juga jatuh sakit lalu menyusul ayah saya. Pembantu yang diusir itulah yang menanamkan dasar-dasar agama pada saya, yang menyayangi saya seperti anak sendiri juga yang melindungi saya. Dan ketika saya sebatangkara yang teringat  pertamakali oleh saya adalah beliau, kasih sayangnya amat saya rindukan. Kerinduan itu membawa langkah saya mengembara, sambil memperdalam ilmu agama saya mencarinya dan terus mencarinya bagai saya mencari ibu kandung saya sendiri " Airmata lelaki itu mulai menetes, kemudian ia bangkit dari duduknya dan melangkah perlahan sampai ia tepat berdiri di dekat bibi Sumirah. 

Berjuta tanya yang sejak tadi ada dibenak bibi Sumirah kini serasa mulai memenuhi dadanya, matanya hanya bisa menatap saat lelaki mulai bersimpuh dihadapannya.
" Maafkan saya ibu, apakah ibu bernama bibi Sumirah " Tanya lelaki itu dengan lembut. Bibi Sumirah tak langsung menjawab, ia merasa dadanya begitu sesak. Rasanya ia tak sanggup mengucapkan kata-kata dan iapun hanya bisa mengangguk lemah diiringi airmata yang terus menggenang dipelupuk matanya.
" Ibu...saya Dudi bu, ibu masih ingat ?" Tanya lelaki itu lagi masih dengan nada lembut. Dan kali ini bibi Sumirah benar-benar terkejut, matanya nanar menatap lelaki yang mengaku bernama Dudi itu.
" Dudi....benarkah kamu Dudi nak..?" Tanya bibi Sumirah lirih
" Ya..bu, saya Dudi..." Jawab lelaki itu seraya meraih tangan bibi Sumirah dan menciumnya. Dan seketika meledaklah tangis keduanya dalam pelukan. Suara tangis mereka menggema disemua sudut surau, para jemaah yang lain tak kuasa menahan tetes-tetes airmata keharuan seraya mengucapkan..." Alhamdulillah...Tuhan telah mempertemukan mereka kembali ".
Selengkapnya...

BIBI SUMIRAH ( 1 )

Selasa, 06 Juli 2010

Siang mulai terasa terik, sinar matahari sesaat lagi akan jatuh tepat diatas ubun-ubun kepala. Sekelompok anak bermain riang di petak sawah yang belum lama di panen. Mereka mencari keong, ikan ataupun berlomba menangkap capung yang beterbangan dan tak menghiraukan panas yang menyengat. Seorang wanita paruh baya duduk di bale-bale bambu pada sebuah gubuk yang tak jauh dari petak-petak sawah. Matanya nanar menatap anak-anak yang bermain, peluh terlihat disela-sela dahi dan pipinya yang mulai mengeriput. Ia merasa waktu yang dipinjamnya dari Sang Maha Pencipta rasa-rasanya mulai menipis namun tak setitikpun bahagia mengisi waktu-waktu yang ia pinjam. Duka dan nestapa bagai sarapan yang harus ia telan di setiap paginya, hidup yang ia tempuh bagai jalan yang berliku, licin dan berbatu juga penuh lubang yang siap menjerumuskannya. Terlihat wanita itu menghela napas pelan namun segera ia beristighfar, rasanya tak pantas ia mengeluh dan menyalahkan nasib karena ini hanyalah garis hidup yang harus dijalaninya walau pahit. " Seharusnya aku tabah dan tawakal menerima cobaan yang mendera walau seberat apapun " pikirnya. Matanya kembali menatap satu-persatu anak-anak yang bermain, ada setitik rasa kerinduan dalam hati akan kehadiran seorang anak disisinya. Walau ia sudah pernah menikah namun belum pernah dikaruniai seorang anak dan mungkin sudah ditakdirkan tidak akan punya anak. Satu-satunya anak yang pernah jadi bagian hidupnya adalah Dudi anak majikannya. Ah...iapun kembali terhempas dalam ingatan pada kperistiwa yang mengubah jalan hidupnya.

" Jangan mas...! jangan kau lakukan itu. Istighfar mas...istighfar, kita bisa masuk penjara !" Ujar Sumirah kepada suaminya yang hendak melakukan niat jahatnya.
" Sudahlah jangan kau halangi ! ini jalan satu-satunya agar kita punya uang.." Balas Kirno suaminya.
" Jangan mas...jangan !" Cegah Sumirah sambil memegangi tangan Kirno yang hendak masuk kekamar majikannya. Namun dengan seketika Kirno mengibaskan tangannya dan menampar pipi Sumirah, iapun terjerembab ke lantai.
" Sudah kubilang diaaam..! bila kamu tak mau membantuku, biar aku sendiri dan jangan ikut halangi aku !" Bentak Kirno sambil menunjuk-nunjuk wajah Sumirah. Lalu masuk kamar dan mengacak-acak isi lemari pakaian untuk mencari barang berharga. Sumirah hanya bisa menangis melihat tingkah laku suaminya.
" Biiiii..." Suara anak kecil yang kira-kira masih berumur 6 tahun memanggil dan lari menghampiri Sumirah yang menangis. Sumirah langsung memeluk anak itu karena rasa ketakutan lain dalam hatinya, ia langsung ingin mengajak anak itu menjauh tapi suaminya sudah keluar dari kamar sambil menggenggam beberapa perhiasan ditangannya.
" Kalau perlu anak itu akan aku bawa sekalian, biar bapaknya nanti menggantinya dengan uang tebusan !" Kata Kirno sambil menyeringai. Sumirah terkesiap, segera ia mengeratkan pelukannya pada anak itu untuk melindunginya. Ketakutan yang dirasakan anak itu kini mulai merayapi jantungnya namun belum sempat ia berkata apa-apa tiba-tiba terdengar suara kendaraan yang masuk pekarangan rumah majikannya. Kirno seketika panik, tanpa berkata apa-apa iapun langsung berlari keluar rumah. Sayangnya pengendara mobil yang ternyata bu Dewi sang pemilik rumah melihat Kirno yang lari tergopoh-gopoh.
" Hei...siapa itu ? berhenti...berhenti...!!" Teriak bu Dewi spontan. " Rampok....rampok...!!!" Seketika lingkungan rumah mulai gaduh, beberapa orang yang mendengar teriakan bu Dewi langsung mengejar Kirno. Dan tak lama kemudian Kirno tertangkap dan langsung dihakimi massa dengan barang bukti beberapa perhiasan berupa kalung, gelang emas juga cincin berlian di sakunya. Kemudian aparat kepolisianpun datang.
" Oh...jadi itu suamimu Sum ! rupanya kalian mau kerjasama ya menguras harta saya. Hebat sekali kamu, saya tidak menyangka sama sekali " Ujar bu Dewi sinis.
" Tidak bu...tidak, saya tidak seburuk yang ibu kira. Tak ada niat sedikitpun.." Jawab Sumirah namun langsung dipotong bu Dewi.
" Huh...ngga ada niat katamu !? maling mana ada yang mau mengaku. Sudahlah...bawa saja pak dan jebloskan saja ke penjara bersama suaminya " Kata bu Dewi ketus.
" Bu...jangan bu, kasihanilah saya.." Ujar Sumirah sambil menangis sesegukan. Namun ia hanya bisa pasrah saat 2 orang polisi menggamit lengannya.
" Biii...ikut bi ! ma....bibi mau kemana ? jangan ma...bibi ngga jahat " Ujar Dudi menangisi kepergian Sumirah. Ia menarik-narik baju ibunya namun tak dihiraukan. Sumirah yang melihat itu hanya bisa menangis dengan penuh rasa penyesalan. Dudipun meraung-raung saat mobil patroli polisi beranjak meninggalkan rumah dan membawa bi Sumirah. 

Tak terasa air mata meleleh dipipi Sumirah, ingatannya akan peristiwa itu bagai mengoyak luka yang tak pernah sembuh. Dan kini luka itu bertambah pedih....perih. Suara azan Zuhur yang berkumandang menyentak lamunan Sumirah, lalu disekanya air mata yang mengalir dan kemudian ia melangkahkan kaki menuju pancuran. Air wudhu yang mengusap wajah dirasakannya  bagai hujan yang membasahi ladang hatinya yang gersang dan perlahan mulai menentramkan jiwanya.

Bersambung....

Selengkapnya...