POHON MANGGA

Minggu, 14 Juni 2009

Hari mulai menjemput malam, cahaya rembulan menyeruak di sela-sela rimbunnya pepohonan dan pekatnya malam. Nyanyian jangkrik saling bersahut-sahutan dan sesekali suara katak terdengar dari kejauhan bagai orkestra yang mengiringi sunyinya suasana kampung. Dan nyanyian jangkrik sedikit terusik oleh dua bayangan yang mengendap-ngendap dari balik semak-semak. Malam yang hanya dihiasi temaramnya cahaya bulan membuat bayangan-bayangan itu lebih leluasa menyelinap dari satu pohon ke pohon yang lain, langkah perlahan dan terlihat sangat hati-hati kemudian sesampainya dibalik sebuah pohon yang lumayan besar mereka berhenti sejenak. Tampaknya mereka mengamati situasi dan keadaan sebuah rumah tak jauh dari tempat mereka berdiri, seakan ingin memastikan bahwa keadaan sudah benar-benar aman.
" Bagaimana Yat?, sudah aman belum..?," tanya salah satu dari bayangan itu.
" Belum Ris..! sebentar lagi. Lampu tengahnya baru saja dimatikan".
Rupanya bayangan-bayangan itu adalah Dayat dan Aris, dua orang anak yang berteman dekat walau Dayat yang berumur 10 tahun lebih tua tiga tahun dari Aris. Mereka ingin mengambil buah mangga milik pak Gunarto yang sejak beberapa hari sudah mereka incar. Sebenarnya mereka sudah sering mencuri buah-buah mangga milik pak Gunarto itu tapi untuk malam ini mereka akan mencuri buah mangga dari pohon yang belum mereka cicipi sebelumnya, namun pohon yang mereka incar letaknya persis disamping rumah pemiliknya sehingga sekarang mereka lebih hati-hati bila tak mau ketahuan. Selang beberapa menit merekapun bergerak lagi, perlahan mereka mendekati pagar kebun pak Gunarto yang terbuat dari bilah-bilah bambu itu dan kemudian melompatinya tanpa menimbulkan suara. Mereka terus bergerak menuju samping rumah dan setibanya pada pohon yang dituju merekapun berhenti. Mereka sempat saling berpandangan karena pada batang pohon itu terlihat lilitan kawat yang berduri padahal kemarin belum ada.
" Wah..repot nih !" ujar Dayat sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
" Bisa nggak ?," tanya Aris. Dayat tak menjawab, sepertinya ia ragu-ragu atau sedang berpikir bagaimana caranya untuk dapat memanjat pohon itu. Kemudian ia melangkah mantap mendekati pohon itu sepertinya ia yakin dapat memanjatnya, namun saat tangannya menyentuh kawat-kawat itu tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Ia menjerit seakan menahan sakit yang luar biasa, jeritannya yang melolong terdengar menyayat hati. Aris terkesiap, dengan cepat ia segera menggapai tubuh Dayat untuk menariknya namun saat tangannya menyentuh tubuh dayat tubuhnyapun turut bergetar. Dirasakannya seperti ada sesuatu yang menariknya, darah serasa tersedot, panas dan dadanyapun terasa sesak. Menjeritpun ia merasa tak mampu, matanya mulai berkunang-kunang sebelum akhirnya merasakan sesuatu yang menerpa keras tangannya lalu jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian Aris membuka matanya, dengan pandangan sedikit nanar ia menatap satu persatu orang yang berkerumun di sekeliling balai bambu tempat ia terbaring lemah. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi, namun isak tangis ibunya mengaburkan ingatannya.
" Ibu..!," ucapnya lirih sambil memandangi paras ibunya yang sendu. Perlahan ia berusaha bangkit dari pembaringan namun tubuhnya terasa sulit digerakkan. Lemas tak bertenaga bagai daging tak bertulang, tubuhnyapun terasa ngilu dan pergelangan tangannya teras nyeri dan perih. Ibunya yang melihat Aris sudah siuman langsung memeluk anak yang sangat dikasihinya itu lalu menciuminya dengan penuh perasaan.
" Kamu tidak apa-apa nak..?," ujar ibunya sambil menyeka air matanya, Aris hanya bisa mengangguk lemah.
" Sudahlah bu!, biarkan Aris beristirahat. Sebentar lagi ia pasti sembuh," ujar pak Rt menenangkan ibunya sambil tersenyum kepada Aris. Ibunya terlihat mengerti dan sudah menghentikan tangisnya sambil mengusap-usap lembut kepala Aris. Orang-orang yang berkerumun termasuk pak Rt satu persatu mulai meninggalkan ibu dan anak itu hanya berdua saja.
" Maafkan aku bu..," ujar Aris kemudian setelah mengingat apa yang telah ia alami. Tak terasa airmatanyapun meleleh membasahi pipi. Ibunya hanya mengangguk pelan sambil berusaha menyeka air mata Aris.
" Da..Dayat.. bagaimana bu ,?" tanya Aris lagi saat ingat temannya itu. Ibunya tak segera menjawab namun kemudian dengan nada lirih ibunya mulai menceritakan apa yang terjadi. Pohon mangga pak Gunarto yang tadi malam buahnya akan dicuri oleh Dayat dan Aris ternyata sudah dililit kawat yang beraliran listrik. Maksudnya hanya untuk menakuti dan membuat jera para pencuri apalagi pohon itu baru pertama kali berbuah, namun Dayat yang saat itu terkena langsung sengatan dari aliran listrik itu tubuhnya hangus terbakar dan nyawanyapun tak melayang. Sedangkan Aris yang coba menolong sebenarnya juga ikut tersengat namun tangannya sempat dipukul dengan sebongkah kayu oleh pak Gunarto dan terlepas dari tubuh Dayat sehingga nyawanya bisa terselamatkan. Itulah sebabnya mengapa tangan Aris terasa nyeri dan ngilu saat ia mencoba bangkit dari pembaringan tadi. Pada saat itu beberapa warga datang ketempat kejadian karena mendengar suara jeritan kesakitan dari Dayat, mereka berlarian menuju asal suara. Setelah melihat apa yang terjadi, tanpa basa-basi dan banyak bertanya merekapun menghakimi dan ramai-ramai menghajar pak Gunarto hingga babak belur. Mereka tak menghentikan aksinya walau pak Gunarto sudah berteriak minta ampun dan darah sudah mengalir dari hidungnya. Para warga baru berhenti setelah bu Gunarto berteriak-teriak histeris sambil menggendong anaknya dan menangisi pak Gunarto yang tak berdaya dengan tubuh penuh luka dan beberapa gigi yang tanggal. Beberapa hari kemudian kejadian tersebut diproses pihak yang berwajib dan setelah melewati masa persidangan, pak Gunarto yang didakwa menghilangkan nyawa orang lain divonis penjara selama 25 tahun. Karena sedih dan tak tahan mendengar cibiran serta cemooh warga kampung akhirnya bu Gunarto beserta anaknya yang masih berumur 5 tahun itupun pergi dengan hati penuh luka. Rumah serta kebun dan semua harta benda yang mereka miliki telah ia jual, hingga kini tak seorangpun warga kampung yang tahu kemana mereka pergi.

* * * * * * * * * *
Senja hari ditengah angin yang berhembus sepoi-sepoi, Aris terlihat duduk di beranda depan rumahnya. Rumah yang dikelilingi beberapa pohon mangga terlihat asri dan udaranyapun terasa sejuk. Ia memang sangat menyukai buah mangga bahkan terkadang ia senyum-senyum sendiri saat teman-teman menjulukinya manggaholik, sehingga ia sengaja menanam beberapa pohon mangga yang buahnya ia konsumsi sendiri. Bibitnya kebanyakan ia beli dari Taman Buah Mekarsari walau ada beberapa yang didapat dari pemberian temannya. Beberapa pohon tumbuh rimbun dipinggir jalan umum dan kini sedang berbuah lebat dengan buahnya yang ranum. Walaupun dekat jalan umum namun tak seorangpun yang mengusik buahnya apalagi mencuri. Bukan karena takut melainkan karena malu bila sampai mencuri buah itu, karena Aris sebagai pemilik pohon itu biasanya tak segan-segan memberi siapapun yang ingin mencicipi manisnya buah mangga miliknya bahkan terkadang ia mempersilahkan bila ada yang ingin memanjat dan memetik buahnya sendiri. Hal itu dilakukannya semata-mata karena ia selalu teringat akan peristiwa beberapa tahun yang lalu. Walau sudah sedemikian lama tapi bayangan kengerian selalu menghantui benaknya apalagi peristiwa tragis itu telah merengut nyawa sahabatnya dan hampir saja membuat nyawanya turut melayang. Bila ingat peristiwa itu, ada penyesalan yang begitu dalam dihatinya. Bahkan terkadang timbul rasa dendam yang amat sangat terhadap pak Gunarto yang telah merengut nyawa sahabatnya walau akibat dari kesalahannya sendiri. " Andai pak Gunarto saat itu tak terlalu pelit untuk memberi satu atau dua mangga kepada anak-anak, tentunya peristiwa itu tak perlu terjadi " sesalnya dalam hati.
Tetapi peristiwa itu sudah lama berlalu, perlahan-lahan ia mencoba menghapus ingatan juga kenangan pahit itu dan coba melupakannya. Saat matanya menerawang dan memandangi pohon serta buah-buahnya yang ranum, matanya tertuju pada seorang lelaki tua yang berhenti dibawah pohon mangga . Tubuh yang kurus kering, pakaian lusuh dan kotor yang menempel di tubuhnya terlihat lelaki itu seperti seorang gelandangan yang sudah lama tidak pernah bersentuhan dengan air. Lelaki itupun kemudian duduk dibawah pohon mangga miliknya, saat caping yang menutup kepalanya dilepas tampaklah rambut yang telah banyak dipenuhi uban. Ia duduk di akar-akar pohon yang menyembul keluar, caping digunakannya untuk mengibas-ngibas tubuhnya yang tampak dihiasi peluh karena sengatan sinar matahari. Mungkin ia duduk melepaskan lelah atau sekedar berteduh sambil menghirup udara sejuk dibawah rimbunnya pohon mangga itu. Sebentar-sebentar wajahnya menengadah keatas, memandangi buah-buah mangga yang menggelayut di atas kepalanya. Semua tingkah laku orang tua itu tak lepas dari perhatian Aris.
" Siapa mas..?," tanya Nita istri Aris ketika melihat orang tua yang sedang diperhatikannya.
" Nggak tahu!, barangkali pengemis yang sedang ingin berteduh" jawab Aris.
" Pernah melihat orang itu?"
" Belum..,tapi biarkan saja. Eh..ibu kemana ,?" Aris balik bertanya.
" Bilangnya sih.. mau kepasar !".
" Lho !, bukan kamu saja yang kepasar. Kasihan kan ibumu..!".
" Ah..biar saja mas. Ibu yang mau kok !, katanya sekaliat lihat-lihat suasana pasar. Aku kedalam dulu ya..mas! meneruskan masak," ujar Nita sambil berlalu meninggalkan Aris. Aris hanya mengangguk sambil meraih gelas teh hangat yang tadi dibawakan istrinya. Ia ingat ibu mertuanya, walau ucapannya selalu lemah lembut namun ia merasa sulit sekali merasa akrab. Ibu mertuanya terlalu pendiam bahkan bila tak diajak bicara ia tak akan bicara, padahal Aris ingin ibu mertuanya itu merasa kalau ia anak kandungnya sendiri. Sejak ibu kandungnya meninggal beberapa tahun yang lalu, ia ingin ibu mertuanya menggantikan posisi ibu kandungnya. Tempat ia mengadu, tempat ia berkeluh kesah. Tapi semua keinginannya sulit terwujud dengan sikap diam yang selalu diperlihatkan ibu mertuanya itu padahal ia telah 2 tahun menyunting Nita sebagai istrinya. Aris mengambil sebatang rokok dan menghisapnya, pandangannya kembali tertuju ke lelaki tua tadi. Dilihatnya ia masih duduk di bawah pohon itu namun sekarang mulai merebahkan tubuhnya dan bersandar ke batang pohon yang memang cukup besar. Sambil terus mengibas-ngibaskan capingnya, mata orang tua itupun masih tak lepas memandangi buah mangga diatasnya. "Ah..barangkali orang tua itu ingin makan mangga. Biar aku ambilkan..", ucap Aris dalam hati. Lalu iapun beranjak dari duduknya dan kemudian melangkah mendekati orang itu. Merasa ada yang menghampiri orang tua itupun buru-buru bangkit.
" Maaf nak !, bapak telah lancang duduk disini," ujarnya parau sambil membungkukkan tubuhnya.
" Oh..nggak apa-apa kok pak, silahkan ! kalau mau istirahat. Saya justru ingin menawarkan buah mangga itu, barangkali bapak ingin mencoba mencicipinya ".
" Terimakasih nak, bapak cuma mau berteduh dan istirahat saja ".
" Kalau mau juga nggak apa-apa kok pak. Nanti saya ambilkan ".
" Sungguh nak..saya cuma mau istirahat, terimakasih ".
" Memangnya bapak mau kemana ?, kelihatannya lelah sekali.." tanya Aris kemudian. Orang tua itu tak segera menjawab, ia menghela napas panjang dan pandangan matanya terlihat kosong. Tampak sekali gurat-gurat kesedihan diwajahnya, Aldi hanya bisa memandangi raut wajah orang tua itu dan menunggu apa yang akan diucapkannya. Aldi tak mengerti mengapa pertanyaan basa-basinya malah membuat orang tua itu terlihat sedih.

" Saya tak tahu nak..hendak kemana, tak ada tempat yang saya tuju. Kadang saya hanya ikut saja kemana kaki saya melangkah ".

" Memangnya bapak tidak punya keluarga sehingga pergi tanpa tujuan ?"

" Yah..begitulah nak, saya memang tak punya siapa-siapa lagi. Sejak saya meninggalkan keluarga beberapa tahun lalu, kini saya tidak tahu lagi keberadaan mereka ," ujar orang tua itu dengan nada sedih. Aris merasa terharu mendengar penuturannya. Aris semakin tertarik mendengar penuturan orang tua itu, walau dalam hati ia merasa tak enak apalagi bila membuat orang tua itu semakin sedih namun rasa penasaran tak kuasa ia bendung.

" Mengapa bapak tega meninggalkan keluarga bapak?" Orang tua itu kembali menghela nafasnya dalam-dalam, sepertinya ada beban yang begitu berat menghimpit dadanya. Ada kegetiran tersirat dari setiap helaan nafasnya, terlihat jelas saat bulir-bulir air mata membasahi pelupuk mata yang keriput itu. Melihat itu Aris mengurungkan niatnya untuk tahu lebih banyak tapi orang tua itu memulai ceritanya..

" Sebenarnya saya tidak meninggalkan mereka nak, saya..." cerita orang tua itu terhenti saat tiba-tiba...

" Mas Gun..!, kau kah itu..mas Gun ?" seru ibu mertuaku dari kejauhan. Orang tua itu terhenyak sepertinya ia sangat mengenali suara itu, iapun menoleh ke asal suara dan kemudian menyorongkan wajahnya seakan-akan ingin memperjelas penglihatannya lalu ia segera bangkit dari duduknya.

" Sunarti..!" balas orang tua itu dengan suara parau.

" Mas Gun..!" ibu mertua Aris mulai berteriak sambil menangis dan kemudian berlari ke arah Aris dan orang tua itu berada. Keranjang belanjaan dilepaskannya, terhempas ke tanah dengan tomat-tomat yang berhamburan keluar dan mencelat kesana-kemari. Orang tua itupun beranjak hendak menyambut, namun akar-akar pohon mangga yang menyembul itu menghambat langkahnya. Kakinya tersangkut dan tubuhnyapun terhempas keras dengan kepala membentur akar-akar pohon yang lain. Melihat itu ibu mertua Aris menjadi semakin histeris, kemudian ia bersimpuh dihadapan tubuh ringkih yang tengah terbaring lemah, mengangkat kepala orang tua itu lalu memangkunya.

" Mas..Gun!, bangun mas..!banguuun..!" tangis ibu mertua Aris sambil mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu. Aris terhenyak, kejadian yang begitu cepat membuatnya tak mampu berbuat apa-apa. Kakinya serasa terpatri tak bergerak menyaksikan peristiwa itu, hatinya pedih dan trenyuh melihat ibu mertuanya namun sejuta tanya juga menggayut dibenaknya saat itu. Siapa orang tua itu?

" Mas Gun! bangun mas..Nita..Nita!" teriak ibu mertuanya. Nita yang memang hendak keluar setelah mendengar kegaduhan didepan rumah segera menghampiri.

" Ada apa bu?" tanyanya dengan nada bingung apalagi melihat ibunya menangis. Matanya melirik Aris yang diam dalam kebingungan.
" Ini ayahmu nak..ayahmu!" ujar ibunya sambil terus menangis. Nita yang bingung menjadi terkejut setelah mengetahui orang tua yang terbaring lemah itu adalah ayahnya. Iapun segera memeluk orang tua itu erat-erat, kini iapun turut histeris sambil mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu dan tangisannya begitu menyayat hati. Aris tak kalah terkejutnya, selama ini ibu mertuanya selalu bilang bahwa ayah Nita telah lama meninggal tapi kini..dan Arispun semakin terkejut..

" Dialah yang membuat ayahmu begini!" ujar ibu mertua Aris sambil menunjuk-nunjuk kearah Aris. " Aku..!" tanya Aris dalam hati.

" Suamimu yang membuat ayahmu dipenjara. Suamimu yang membuat hidup kita begini..!" teriak histeris ibu Nita. Bagai palu godam menghantam dadanya Aris tersentak dan membuatnya sesak. Wajahnya tiba-tiba pucat sepucat mayat setelah mendengar ucapan-ucapan ibu mertuanya. " Mas Gun itu..pak Gunarto ? orang yang telah merengut nyawa sahabatnya!". Dan Nita adalah...ah!..seakan-akan ia tak percaya dengan semua yang telah terjadi, semua bagai mimpi baginya. Ternyata ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menggayut dalam benaknya selama ini. Kini dia hanya diam merunduk bagai pesakitan menunggu vonis hakim, bagai menunggu algojo melingkarkan tali gantungan dilehernya. Namun dalam benaknya ia teringat kalau pohon mangga ini bibitnya ia ambil dari pohon yang hampir merengut nyawanya.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

seru nih critanya.

NOOR'S mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Radinal Mukhtar Harahap mengatakan...

Tambah mengalir aja nih.. cerpen mas noor!.. salut mas.. mari kita terus berbagi pelajaran melalui cerpen.. :)

NOOR'S mengatakan...

ngga percuma dong..! jadi muridnya master cerpen he..he

Posting Komentar