SEPEDA MOTOR BARU

Selasa, 09 Juni 2009

Suara raungan sepeda motor yang knalpotnya sudah dimodifikasi tiba-tiba melintas dijalan depan rumah bang Samin. Bang Samin yang sedang asik menyeruput kopinya menjadi terkaget-kaget dan kopi yang masih panas itupun tumpah dan hampir saja membasahi sarung yang membelit tubuhnya.
" Brengsek..., bocah sialan...!!," umpatnya marah, sambil menyeka air kopi yang tumpah diatas balai bambu yang ia duduki.
" Biarin aja bang..!, namanya juga anak baru gede...kagak usah diambil ati..," ujar Munah istri bang Samin mencoba mencairkan amarahnya.
" Ah..elu, bukannye ngebantuin gua..malah ngebelain ntu anak. Sebenernye kalo ntu anak bukan anaknye pak Romli, ude gua labrak dari kemaren-kemaren..,! sambung bang Samin emosi dengan bahasa betawinya yang kental , dan mpok Munah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku suaminya itu.

Bila diingat-ingat memang bang Samin jadi serba salah dan rasa-rasanya dia tak berani marah juga tak pantas marah atas tingkah laku si Arfan anaknya pak Romli itu. Dahulu jalan yang menghubungkan kampung dengan jalan raya itu hanyalah jalan setapak berupa tanah merah dan berbatu-batu, menjadi becek juga licin saat musim penghujan datang. Tetapi kini jalan itu terlihat mulus terbalut cor-coran beton, semua karena inisiatif juga dari dana pribadi pak Romli lah jalan itu terlihat seperti sekarang ini.Dan jalan yang dahulu jarang dilewati kini menjadi ramai dengan hilir mudiknya kendaraan roda dua baik dari kampung bang Samin sendiri maupun dari maupun kampung lainnya. Bahkan sebagian warga yang selama ini menganggur mulai memanfaatkan fasilitas jalan yang mulus juga ramainya orang hilir mudik dengan menjadi pengojek, dan bang Samin serta istrinyapun secara tidak langsung ikut menikmati rejeki dengan berjualan nasi uduk dan beraneka macam makanan gorengan didepan rumah mereka yang hanya beberapa jengkal saja jaraknya dari jalan itu. Penghasilan merekapun bertambah apalagi kehidupan mereka selama ini hanya bergantung dari hasil kebun juga kolam ikan yang hasilnya tidak seberapa.

Namun dengan ramainya hilir mudik sepeda motor setiap harinya itu dan juga banyaknya tetangga yang membeli atau kredit sepeda motor membuat mpok Munah latah berkeinginan memiliki motor juga, sehingga beberapa hari ini dia terus merajuk kepada bang Samin agar segera membeli atau kredit motor.
" Uang mukanya murah kok bang..!" rajuk mpok Munah suatu sore saat membereskan dagangannya.
" Iye, uang mukanya murah. Tapi nyicilnya gimane..?, buat makan aje masih ngos-ngosan..," ujar bang Samin sambil mengunyah singkong goreng yang mulai dingin sisa jualan istrinya.
" Ah abang, kalo ada motor kan enak. Aye kagak perlu lagi naek turun angkot kalo mau pergi ke pasar. Mas Nano yang cuma jualan ketoprak aje bisa, masak kita ngga bisa bang..!' sambung mpok Munah.
" Ah elu kayak anak kecil aje, kagak boleh ngeliat orang punya ape-ape. Udah..ah..!, nanti gua pikirin..," jawab bang Samin sedikit kesal sambil terus menyeruput kopinya.

Bang Samin pantas berkesal hati karena ia sangat menyadari batas kemampuannya. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap, sehari-hari ia hanya memeriksa kebun juga kolam ikan kecil dipinggir sungai yang tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia ikut tetangganya yang berprofesi sebagai tukang bangunan, untuk membantu pekerjaan memperbaiki atau merenovasi rumah dan juga membangun rumah baru. Hasilnya memang lumayan tapi itupun dalam setahun bisa dihitung dengan jari seberapa sering ia ikut tetangganya itu. Sehingga wajar kalau bang Samin berpikir seribu kali bila ingin mengajukan kredit sepeda motor, " mau bayar pakai apa ?," pikirnya. Tapi lama kelamaan atas desakan dan rajukan mpok Munah, iapun akhirnya mengalah dan berjanji akan memenuhi keinginan istrinya itu. Iapun berencana uang muka untuk kredit motor tersebut nantinya diambil dari hasil panen dari kolam ikannya yang tak seberapa besar . Bahkan ada seorang tengkulak yang sudah setuju untuk menyetor uangnya sebagai panjar dari ikan-ikan gurame yang akan dipanen nanti. Untuk membayar cicilannya, bang Samin juga berencana jadi tukang ojek seperti tetangganya. Alangkah senangnya hati mpok Munah mendengar rencana-rencana yang diungkapkan bang Samin dan iapun berjanji akan membantu membayar cicilan kredit dengan menyisihkan keuntungan dari hasil jualan nasi uduknya.

* * * * * * * *


Malam itu udara terasa dingin sekali, semilir angin yang kian malam kian kencang menambah hawa dingin kian menusuk pori-pori kulit. Langitpun terlihat hitam pekat tanpa bintang, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Bang Samin yang sejak sore tadi merasakan tubuhnya demam, makin menggigil tubuhnya walau sudah diselimuti beberapa lembar kain oleh mpok Munah. Sebentar kemudian suara halilintar menggelegar diiringi rintik-rintik hujan yang kian lama kian deras. Mpok Munah segera berlari kedapur mengambil beberapa peralatan dapur, panci, ember atau apa saja untuk digunakan sebagai wadah air hujan yang menembus sebagian atap rumah yang bocor. Dengan napas sedikit terengah mpok Munah kembali menemani bang Samin yang kelihatan semakin menggigil kedinginan, namun tiba-tiba bang Samin bangkit dari tidurnya.
" Ada apa bang ,? " tanya mpok Munah bingung.
" Empang kita Mun...!, jangan-jangan kena banjir," ujar bang Samin agak panik. Mpok Munah tercekat mendengar ucapan suaminya itu, sambil mengucapkan kalam Illahi tangannya memegang dada yang tiba-tiba berdetak kencang. Segera ia turun dari tempat tidur dan kemudian mendekati jendela, dilihatnya butir-butir air yang turun dari langit seakan berlomba-lomba menghujam dan membasahi bumi dengan riak-riak genangan air ditanah terlihat seakan-akan berupa tarian kemenangan.
" Nggak terlalu deres kok bang...," ujarnya menghibur diri.

Padahal dalam hatinya ia sangat takut apa yang dikhawatirkan suaminya benar-benar terjadi. Kalau itu sampai terjadi, pasti ikan-ikannya akan hanyut terbawa air dan hilanglah harapannya untuk segera memiliki sepeda motor. Mulutnya mulai komat-kamit memanjatkan doa agar terhindar dari musibah yang ia takutkan akan terjadi, sedangkan bang Samin hanya tercenung dan pasrah. Dengan kondisi tubuhnya yang sakit seperti ini ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berharap hujan yang turun akan segera berakhir, karena semakin lama hujan turun biasanya air sungai akan meluap dan menyebabkan banjir. Apalagi sekarang banyak warga yang tak perduli lagi akan kebersihan lingkungan dengan sembarangan membuang sampah bukan pada tempatnya terutama ke sungai sehingga aliran air tersumbat akibat sampah yang menumpuk dan banjirpun tak bisa terelakkan lagi. Namun harapannya tidak terkabul, ternyata hujan terus turun dan baru berhenti pada saat menjelang subuh.


Pagi-pagi sekali bang Samin segera bergegas menuju kolam ikannya, sakit badannya tak ia hiraukan lagi. Mpok Munah yang khawatir akan kondisi suaminya ikut menemani, ia juga ingin tahu nasib kolam mereka beserta ikan-ikannya. Perlahan mereka manapaki jalan yang menurun dan licin, perasaan was-was dan khawatir menyertai langkah-langkah mereka. Sesampainya ditempat tujuan apa yang mereka takutkan benar-benar terjadi, dari ketinggian terlihat air menggenangi seluruh permukaan sawah dan kolam-kolam ikan milik warga termasuk kolam ikan milik mereka. Air sungai yang meluap menggenangi seluruh permukaan sehingga menyerupai hamparan danau kecil. Bang Samin dan mpok Munah termangu, tubuh mereka lemas tak berdaya bahkan mpok Munah tak bisa menahan isak tangisnya.
" Bagaimana ini bang..?" ujar mpok Munah disela tangis sambil mengguncang-guncangkan tubuh suaminya. Bang Samin hanya mematung dan diam seribu bahasa, ia tak bisa berbuat apa-apa karena ketinggian air sungai yang kira-kira setinggi lutut diatas kolam rasanya sangat mustahil baginya bisa menyelamatkan ikan-ikannya. Kolam-kolam ikan yang ada terlihat sudah menyatu, ditambah dengan derasnya air sungai sudah dipastikan ikan-ikannya ikut hanyut terbawa arus. Hilang sudah mimpi-mimpinya untuk dapat menambah penghasilan dengan menjadi tukang ojek, belum lagi uang panjar dari tengkulak yang sebagian sudah habis untuk menambah modal dagang istrinya. Sepeda motor yang dimpikan tak dapat malah kini ia harus memutar otak untuk mencari cara mengembalikan uang itu.

Dengan berjalan lemas seiring musnahnya angan, harapan juga mimpi-mimpi merekapun berjalan pulang. Sepanjang jalan mpok Munah tak kuasa menghentikan isak tangisnya, hanya bang Samin yang terlihat berusaha tetap tabah sambil terus membujuk istrinya itu. Saat tinggal beberapa langkah lagi mereka sampai dirumah, tiba-tiba terdengar suara benturan yang sangat keras dari arah jalan raya. Sejenak mereka menghentikan langkah dan saling berpandangan, menerka-nerka dalam hati apa gerangan yang telah terjadi. Kemudian mereka mempercepat langkah menuju rumah, dijalan depan rumah terlihat beberapa orang berlarian menuju jalan raya dan tak berapa lama kemudian ada yang berlari kearah yang berlawanan sambil berteriak..
" Ada tabrakan..ada tabrakan. Anak pak Romli tabrakan...!," teriak orang itu sambil terus berlari menuju rumah pak Romli untuk memberi kabar.
" Tabrakan..!?" ujar bang Samin dan mpok Munah hampir bersamaan,
akhirnya merekapun ikut-ikutan berlari menuju jalan raya tempat kecelakaan itu terjadi.

Benar saja, sesampainya disana sudah banyak terlihat warga berkerumun tepat didepan gang. Terdengar mereka berbincang, saling berargumen dan masing-masing saling mengutarakan opini atau pendapat ikhwal kejadian itu. Ada yang prihatin dengan apa yang terjadi tetapi ada juga yang berbisik-bisik dan diam-diam mensyukuri setelah tahu siapa yang mengalami kecelakaan itu. Sebagian dari mereka mengungkapkan kalau Arfan anak pak Romli itu membawa motornya dari arah kampung menuju jalan raya dengan kecepatan yang cukup tinggi seperti yang biasa ia lakukan. Memang kondisi jalan agak menurun, entah karena rem motornya yang blong atau jalan yang licin akibat hujan yang turun tadi malam terlihat motor tetap melaju dan memotong jalur jalan raya. Pada saat itu datang sebuah truk dari arah barat juga meluncur dengan kecepatan tinggi sehingga tabrakanpun tak bisa dihindarkan. Sepeda motor yang dibawa Arfan hancur dihantam truk dan terpental kurang lebih delapan meter bersama pengendaranya, yang lebih parah lagi saat itu Arfan tidak menggunakan helm untuk melindungi kepalanya. Maka dapat dibayangkan tubuhnya tergolek ditengah jalan dengan kondisi yang mengenaskan, kepala hampir remuk terhantam aspal jalan dan darah terus mengalir membasahi sekujur tubuhnya, dari hidung, telinga juga batok kepalanya. Mpok Munah yang penasaran terus menarik lengan bang Samin dan menyeruak ditengah-tengah kerumunan orang-orang untuk melihat kondisi Arfan.

Setelah mendekat disaksikannya tubuh Arfan bersimbah darah, orang-orang yang ada disekelilingnya terlihat hanya menonton dan tak ada satupun yang berani menyentuh tubuh Arfan walau ada yang berinisiatif menutupi tubuh Arfan dengan beberapa lembar koran. Mpok Munah bergidik menyaksikan semua itu, bulu kuduknya merinding...perutnya terasa mual dan kepalanya mulai terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan bila tak segera ditarik menjauh oleh bang Samin.
" Bang..., nggak usah beli motor ya..!" ujar mpok Munah dan bang Saminpun hanya mengangguk.

4 komentar:

Radinal Mukhtar Harahap mengatakan...

Mantap...

mungkin disini kelebihan mas noor's... mampu merubah awal jalan cerita berbalik hingga tak bisa di tebak..

awalnya, memang saya berpikir bahwa si Arfan akan tabrakan. namun, proses menuju tabrakan itu yang tidak saya sangka-sangka.

hebat mas...

NOOR'S mengatakan...

Terima kasih mas...saya sangat tersanjung

Unknown mengatakan...

ini bisa buat cerpen. ala betawi nih bahasanya. udah lumayan kok.

btw, saya bukan master cerpen lho. kebetulan aja saya bisa buat cerpen. kamu juga bisa asal mau berlatih dan byk membaca karya orang lain.

NOOR'S mengatakan...

Makasih komennya mbak..paling tidak saya sudah punya 2 guru cerpen. Mas Radinal dengan nuansa religi yang kuat dan mbak Fanny dengan gaya gaulnya yang khas. bayarnya gimana ya ?he..he..

Posting Komentar