BUKAN SKENARIO

Senin, 02 November 2009

" Hei Ton..! aku sudah sampai Pancoran nih. Kamu ada dimana ?" seru Raditya melalui handphonenya.
" Oh..kamu Dit, aku masih di kantor. Lebih baik kamu langsung saja kerumah. Awas..! kalau sampai menginap di hotel. Putus hubungan pertemanan kita " balas Anton sambil berseloroh.
" Oke bos ! beres..tapi bila aku menginap dirumahmu, nggak ganggu neraca keuangan kan ?"
" Sialan..! tenang aja deh. Bakalan aku servis abiss.." merekapun tertawa dan setelah menutup pembicaraan mereka, Raditya langsung mengarahkan kendaraannya ke arah Pejaten Pasar Minggu menuju kediaman Anton. Anton dan Raditya telah menjadi sahabat karib sejak bersekolah di salah satu SMA kota Cirebon, begitu akrabnya mereka sehingga dimana ada Anton disitu juga ada Raditya. Bolos sekolah, nongkrong bahkan tawuranpun mereka sama-sama. Dan kini setelah lulus merekapun sama-sama merantau, Anton ke Jakarta dan meniti karir di media televisi swasta sedangkan Raditya menjadi seorang pengusaha sukses di Bandung. Anton menikahi Tania gadis teman satu SMA mereka, sehingga Raditya tak canggung dengan keluarga Anton dan seringkali saat ada keperluan bisnis di Jakarta Raditya selalu bermalam di rumah keluarga Anton. Walau sebenarnya itu bukanlah keinginannya tapi semata-mata untuk menyenangkan sahabatnya saja. Sedangkan Anton memang punya kepentingan sendiri dengan meminta Raditya selalu menginap di rumahnya bila ke Jakarta, selain menunjukkan bahwa ia tak melupakan persahabatan mereka namun jauh dilubuk hatinya Raditya dianggapnya sebuah aset. Sebagai pengusaha yang sukses tentunya dari segi finansial Raditya adalah orang yang berkecukupan, dengan begitu Anton berharap Raditya dapat membantunya memecahkan masalah yang sering ia hadapi terutama bila menghadapi masalah kesulitan keuangan. Sekian tahun bekerja Anton merasa tak mengalami perubahan, jalan ditempat dan tak ada peningkatan dari segi karir maupun finansialnya. Raditya tentunya tahu hal itu sehingga ia tak segan-segan mengucurkan uang simpanan yang dimilikinya bila Anton sewaktu-waktu membutuhkan. Terakhir Raditya membantu biaya pengobatan ibu Anton yang sakit jantung akut, kini telah sembuh dan dibawa Anton ke Jakarta," agar lebih mudah mengawasinya " ujar Anton waktu itu. Padahal Anton membawa ibunya ke Jakarta karena ayahnya sendiri telah lama meninggal sedangkan adik-adiknya yang juga sudah berkeluarga merasa keberatan merawat ibu mereka yang sakit-sakitan. Waktu itu seluruh biaya pengobatan ibu Anton serta biaya membawanya ke Jakarta semua ditanggung Raditya tanpa mengharap pamrih walau Anton berjanji akan mengembalikannya dengan cara mencicil.

Setibanya di perempatan lampu merah Pasar Minggu Raditya membelokkan kendaraanya kekanan memasuki daerah Pejaten. Setelah melewati dua buah tikungan sempit sampailah ia di depan gerbang rumah Anton. Pintu gerbang dibuka oleh pembantu rumah tangga yang sudah ia kenal baik dan di beranda rumah sudah berdiri ibu Anton, Tania juga Sandra adik Tania. Ibu Anton sudah menganggap Raditya seperti anaknya sendiri, sehingga ia terlihat begitu gembira menyambut kedatangannya kembali. Raditya langsung mencium lengan ibu Anton dan kemudian memeluknya, lalu menjabat tangan Tania juga Sandra.
" Wah.. nak Adit, sudah lama sekali ya..tidak kesini. Kemana saja ?" sambut ibu Anton ramah.
" Ah..biasalah bu, dirumah banyak pekerjaan ".
" Istrimu ndak diajak toh..?"
" Ya nggak lah bu!, anak-anak kan masih sekolah. Lagipula saya kesini ada urusan pekerjaan bukan jalan-jalan " ujar Raditya sambil tertawa.
" Ya sudah sana..kamu istirahat dulu, biar Tania yang mengantarmu ".
" Biar saya saja bu..! mari..mas, saya antar !" ajak Sandra sambil melemparkan senyum.
Setelah merapihkan barang-barang bawaannya dan istirahat sejenak, Raditya kembali ke beranda depan bergabung dengan ibu Anton dan Tania yang sudah duduk disana. Merekapun berbincang diselingi senda gurau sambil menunggu Anton pulang dari kantornya. Satu jam berselang Anton pulang dan menemui mereka yang sedang asik ngobrol.
" Wah..! sedang membicarakan aku ya.." ujar Anton.
" Ihh..ge-er banget ! siapa yang membicarakan mas Anton, iya kan bu !?" balas Tania, ibu Anton hanya tersenyum-senyum saja. Raditya menghampiri Anton yang baru saja datang dan merekapun berpelukan layaknya sahabat yang lama tak jumpa.
" Sepertinya tambah gendut saja kau..Ton !" ujar Raditya sambil menepuk-nepuk perut Anton.
" Ah..bisa saja kau. Eh..bagaimana kabar mbak Silvi juga si bungsu ?" tanya Anton.
" Syukurlah..semua sehat-sehat saja "
" Oke Dit..! aku mau kebelakang dulu. Terusin deh..ngobrolnya " ujar Anton sambil berlalu ke dalam diikuti oleh Tania. Tinggal lah Raditya bersama ibu Anton meneruskan obrolan mereka.

Hari telah meninggalkan senja, selimut malampun telah terbentang menyelimuti hamparan langit. Cahaya temaram bulan sabit tak mampu menandingi cahaya-cahaya yang berpendar dari lampu-lampu jalan dan rumah-rumah yang cukup padat di selatan Jakarta itu. Dengan ditemani istrinya, Anton masih berbincang-bincang dengan Raditya di beranda depan itu sedangkan ibu Anton dan Sandra sudah pergi tidur sejak tadi. Topik yang mereka perbincangkan juga bermacam-macam, dari kenangan mereka selama di SMA lalu tentang pekerjaan juga soal rumah tangga. Seperti biasa obrolan mereka begitu hangat, akrab diselingi canda dan tawa.
" Eh..sorry Ton !, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin aku hanya menginap satu malam saja disini " ujar Raditya tiba-tiba.
" Lho..memangnya kenapa Dit ?"
" Besok aku ada meeting di hotel Borobudur dengan beberapa kolegaku, dan kemungkinan sampai larut malam. Aku pikir daripada aku capek bolak-balik lebih baik sekalian saja aku menginap disana. Kamu nggak keberatan kan ?"
" Ya..nggak apa-apa sih. Berapa hari meetingnya ?"
" Tergantung !, bila agenda yang akan kami bahas bisa selesai besok berarti cuma satu hari. Tapi bila belum selesai pastinya dilanjutkan keesokan harinya ".
" Oh..begitu, ya..deh !".
Setelah rasa kantuk mulai menyerang dan mata mulai terasa berat mereka sepakat untuk beristirahat. Raditya menuju ruang tidur yang terletak di lantai dua bersebelahan dengan ruang kerja Anton yang biasa ia gunakan saat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantor atau hanya sekedar membaca buku-buku yang memang cukup banyak dan tertata rapih di rak buku. Raditya membuka gorden jendela kamar lebar-lebar, kemudian memandangi kerlap-kerlip lampu dari beberapa rumah. Juga terlihat olehnya beberapa kendaraan yang lewat karena memang rumah Anton hanya beberapa meter saja dari jalan raya alternatif yang menghubungkan Pasar Minggu ke Kalibata atau Mampang Prapatan. Walau pemandangan yang ia lihat tak seindah jika dibandingkan dengan pemandangan yang ada di Bandung, tapi itu cukup membuatnya senang. Ia merebahkan tubuhnya perlahan dan mencoba memejamkan mata, sedang Anton dan istrinya masih menonton televisi di ruang tidur mereka. Jarum jam terus berdetak, malam pun mulai merambat menapaki ujung hari. Waktu telah menunjukkan hampir tengah malam, ketika sebuah bayangan keluar dari kamar dan menutup pintunya kembali perlahan. Dengan sangat hati-hati dan berusaha tidak menimbulkan suara, bayangan itu berjalan perlahan menuju sebuah kamar lain lalu mengetuk daun pintunya.
" Kok lama sayang..?" tanya seseorang di balik pintu, sedangkan yang ditanya tak menjawab, ia hanya tersenyum lalu tanpa berlama-lama merekapun bersatu dalam pelukan.


* * * * * * * * * *

Setelah berpisah di perempatan Tugu Pancoran, Anton dan Raditya berpisah. Anton melanjutkan perjalanan ke arah Grogol menuju tempat kerjanya sedang Raditya memilih jalan Tebet Raya untuk menuju ke Hotel Borobudur. Dalam perjalanan Anton bersiul-siul gembira, karena merasa skenario yang telah ia susun jalannya sudah terbuka, suatu rencana busuk yang telah ia rencanakan dengan matang. Sebenarnya rencana itu telah ia siapkan saat Raditya mengabarkan akan datang ke Jakarta, sayangnya saat ia basa-basi menawarkan untuk menginap di rumahnya Raditya mengiyakan. Padahal ia mengharapkan Raditya menolak, karena jika menginap di rumahnya rasanya mustahil menjalankan skenario yang ia inginkan. Saat ini Anton sedang dirundung masalah yang cukup membuatnya pusing tujuh keliling. Ia terlibat hutang yang cukup besar pada seseorang, karena hobinya bersenang-senang dan main judi membuatnya terperangkap dalam situasi yang ia sendiri tak sanggup menyelesaikannya. Anton sudah beberapakali didatangi oleh Debt Collector yang datang untuk menagih hutang-hutangnya.

Terinspirasi oleh berita-berita yang begitu gencar ditayangkan televisi yaitu tentang seseorang yang terbunuh dan melibatkan seorang pejabat negara, Anton mendapat ide gila, busuk dan keji. Ia merencanakan untuk memeras seseorang dan orang yang akan ia peras adalah Raditya, sahabatnya sendiri. Ia tahu betul akan pribadi Raditya, Anton yakin Raditya akan mengorbankan apapun yang ia miliki untuk menjunjung harkat dan martabat keluarga, satu kelebihan dari pribadi Raditya yang akan dijadikan titik lemah oleh Anton. Ia berencana mengumpankan seorang wanita pada Raditya dan berharap umpannya mengena. Kemudian ia akan mengabadikannya dengan foto ataupun video kamera. Dengan itulah Anton akan memeras Raditya dan tentunya Anton yakin Raditya akan memenuhi semua permintaannya karena tak ingin keharmonisan keluarganya hancur berantakan.

Sebenarnya Anton sempat ragu menjalankan rencana itu karena sempat terpikir olehnya bila meminta pertolongan secara baik-baikpun rasanya Raditya tak keberatan. Anton juga ragu karena ia tidak tahu persis apakah Raditya termasuk lelaki yang mudah terpesona oleh kecantikan dan kemolekan tubuh seorang wanita. Namun semua keraguan itu sirna karena sifat serakah dan rakus telah membutakan mata hatinya, skenario yang telah ia susun tetap akan dijalankan sesuai rencana. Hubungannya yang luas dengan dunia gemerlap membuat Anton tak menemui kesulitan untuk mendapatkan seorang wanita cantik untuk dijadikan umpan dan lingkungan kerja di dunia pertelevisian juga memudahkannya mendapat kamera video mini untuk merekam pertemuan wanita itu dengan Raditya. Dan terakhir, juru foto yang ditugaskan untuk mengabadikan rencana jahatnya itu ia temui atas rekomendasi seorang temannya. Semuanya direncanakan dengan hati-hati, wanita dan sang juru foto akan dibayar cukup besar karena ia tak ingin skenario yang ia buat justru berbalik padanya. Dia juga mengajak seoarang bawahannya yang loyal untuk di jadikannya kaki tangan dalam menjalankan skenarionya itu.

Di lain tempat Raditya juga merasa senang namun juga tak enak hati telah membohongi Anton. Karena sebenarnya ia tak punya agenda untuk mengadakan meeting dengan koleganya di hotel Borobudur, tujuan sesungguhnya adalah dapat dengan bebas bertemu dengan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama. Menghembuskan buih-buih hasrat yang sekian lama terpendam dan bergejolak dalam dada, lama terpatri dan terkungkung dalam ikatan sakral perkawinan. Dering handphone membuyarkan lamunan Raditya..
" Eh..Dit, sudah sampai mana ?"
" Aku baru sampai Gondangdia Ton..!" bohong Raditya padahal ia masih di jalan Tebet Raya.
" Nanti kalau sudah dapat kamar, beritahu aku ya..! kabari juga kapan kembali ke Bandung, barangkali aku bisa menyempatkan waktu untuk berkunjung sebelum kamu pulang " ujar Anton sambil meyeringai licik. Padahal ia hanya perlu tahu di kamar mana Raditya akan tinggal demi memudahkannya menjalankan skenario. Sedangkan Raditya berpikir, " wah..jika kau datang, bisa buyar rencanaku Ton.." namun ia coba tetap bersandiwara.
" Ya! beres Ton, tapi jika mau datang kabari aku juga ya. Aku nggak enak jika kamu datang aku masih sibuk meeting "
" Oke..!" merekapun sama-sama tersenyum penuh kemenangan.
Setelah menutup pembicaraan mereka, Raditya segera menghubungi seseorang. Tak sampai setengah jam merekapun bertemu dan langsung meluncur ketempat tujuan. Hari masih pagi namun arus kendaraan sudah mulai terlihat padat, di beberapa titik malah sudah terjadi kemacetan yang memang sudah menjadi pemandangan lumrah di jalan-jalan ibukota. Luapan asap knalpot kendaraan serta kemacetan yang ada, dengan cepat menjadikan suhu udara menjadi panas, sepanas gelora hasrat kedua insan yang dimabuk asmara.

Anton mulai menjalankan skenarionya, melalui kaki tangannya ia mengirim juru foto ke hotel Borobudur dengan membekalinya satu foto close-up Raditya. Tujuannya untuk mensurvei tempat juga mengenali targetnya terlebih dahulu sebelum wanita yang akan dijadikan umpan ia kirim. Semuanya sudah ia perhitungkan dengan matang dan mencoba menghindari setiap celah yang sekiranya akan menggagalkan skenarionya.
Menjelang petang Anton terlihat tengah menikmati sebatang rokoknya, menghisap lalu menghembuskan asapnya perlahan. Hatinya sedang gelisah, sebentar-sebentar ia bangkit dari duduknya dan mondar-mandir didepan meja kerja. Dalam hati ia bertanya-tanya " apakah skenario yang telah ia susun rapi berjalan sesuai rencana ?". Namun kegelisahannya seakan terhapus dan mulai tersenyum saat membayangkan setumpuk uang dalam koper berada di hadapannya.
" Tok..tok..tok !" tiba-tiba ketukan pada daun pintu membuyarkan lamunannya.
" Masuk..!"
Perlahan daun pintu terbuka, Iwan seorang bawahan yang dijadikan kaki tangan dalam menjalankan rencananya masuk. Kepalanya tertunduk dan wajahnya terlihat pucat pasi, di tangannya tergenggam sebuah amplop coklat. Anton agak bingung melihat tingkah laku Iwan, sempat terpikir kalau skenarionya gagal.
" Ada apa dengan kamu ? rencana saya gagal ?"
" Ti..ti..tidak bos..!" jawab Iwan gugup.
" Lalu mengapa kamu terlihat gugup seperti itu ?" Tanya Anton lagi. Iwan tak menjawab, dengan tangan sedikit gemetar ia menyodorkan amplop coklat yang dipegangnya.
" Apa ini..?" tanya Anton sambil menerima amplop itu lalu segera membukanya, matanyapun terbelalak. Giginya gemeletuk menahan amarah yang meluap-luap. Tangannya dengan cepat membuka lembaran-lembaran foto yang ada ditangannya. Ia seakan-akan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, beberapa pose dari foto itu memperlihatkan kemesraan Raditya dengan seorang wanita.  Yang menyesakkan dadanya adalah Raditya bermesraan bukan dengan wanita yang sengaja ia umpankan, melainkan dengan Tania...istrinya !. Wajahnyapun merah padam, darahnya menggelegak, napasnya mulai sesak. Tangannya terkepal meremas foto-foto itu, lalu pukulannya mendarat keras di meja kerjanya. " Bruakkk...!!"
" Bangsaaaaat..!! bajingaaaaan....!!"

Sungguh..! bukan ini skenario yang ia inginkan.



Lenteng Agung' 08



14 komentar:

Unknown mengatakan...

seru ceritanya...sama2 jahat ternyata. hehehe.

Sohra Rusdi mengatakan...

kita hanya bisa berencana Tuhan yang menentukan
Nice posting Mantapppp

NOOR'S mengatakan...

@ Mba Fanny & pak Munir : makasih atas atensinya..ini hanya sedikit dari imajinasi2 nakal dalam otak saya. Syukur..kalau ada pelajaran yang bisa diambil..

enny mengatakan...

waduh.. serem juga, ya.. haha..
hati2 sama niat, barang kali orang juga punya niat yg sama dg qta? So, positif aj kali ya..

Si_Isna mengatakan...

serem mas ceritanya...
justru malah bikin saya takut untuk percaya sama siapa2, termasuk sahabat sendiri...
huhhuuu...

btw, salam kenal yah...

NOOR'S mengatakan...

@ Mba Isna : Wadooh...jangan sampai segitunya dong mba...inikan cuma cerita fiksi, bukan beneran...salam kenal juga.

Unknown mengatakan...

kamu punya bakat yg unik utk nulis cerita2 ala Sidney Sheldon lho. kembangkan terus.

NOOR'S mengatakan...

@ mba Fanny : Wah makasih mba, saya sangat tersanjung...

Dream Competition mengatakan...

wah...saya baru bisa baca setengahnya...besok dilanjut lagi.

radinal mukhtar harahap mengatakan...

Wah... semakin berisi mas..

Selamat ya..

Terus menulis

NOOR'S mengatakan...

@ Bang Radinal : Wah...makasih pak guru...dah mau mampir kesini lagi.

Dream Competition mengatakan...

he.. kisah ini pernah saya dengar di ril lho bro.

NOOR'S mengatakan...

@ Mba Aisha : cerita ini saya buat terinspirasi berita cinta segitiga antara pak Antasari

Radhitya Notes mengatakan...

wah... jadi topik pembicaraan yach saya...

kalo Pacar saya tau ..., MATI dah saya..

wk wk wk wk wk wk wk wk wk wk
ceritanya unik...
saya publish di blog saya yach...
hehehehehehehehe

Posting Komentar