Hujan rintik-rintik yang turun membasahi bumi seakan turut mengiringi kesedihan dan kepedihan Kateni yang begitu mendalam. Pakaian serba hitam juga kerudung yang menutupi helai-helai rambutnya belum juga ia lepaskan. Ia masih duduk bersimpuh di ruang depan kamar kostnya yang tak berkursi, matanya menatap sendu pada daun jendela seraya memandangi bulir-bulir air hujan yang mengetuk-ngetuk kaca lalu mengalir meliuk-liuk kebawah seakan berlomba dengan air mata yang mengalir perlahan dari pipinya. Disela isak tangisnya yang tertahan, terselip tanya dalam benaknya. Haruskah aku menangis..?, pantaskah bila aku menangisinya..? . Pertanyaan-pertanyaan senada juga sering hinggap dalam rongga-rongga dadanya di beberapa hari terakhir, pantaskah aku mencintainya..?. Cinta..? kata itu serasa aneh bila keluar dari mulutnya yang mungil, rasanyapun kini selalu asam atau pahit dan tak sekalipun manis. Sebuah kata yang selama dua tahun belakangan coba ia kubur dalam-dalam di perut bumi atau ia larung di samudera lautan yang luas, kata-kata itu telah ia hapus dari lembar-lembar diary hatinya. Kata-kata itu telah mati dan hangus terbakar rasa amarah karena dikhianati Herman, suaminya.
“ Bila kamu terus seperti ini, sebaiknya kamu berhenti saja..!” Bentak Herman yang menuduh Kateni berselingkuh dengan teman kerjanya.
“ Ya Tuhan,..kamu tidak percaya mas..?, aku pulang malam karena memang ada pekerjaan. Silahkan kamu tanya pada Pak Aceng..!”
“ Hallah..!! nggak usah banyak alasan. Kenapa mesti tanya pak Aceng..? atau malah pak Aceng yang jadi teman selingkuhmu..” Ucapan suaminya itu bagai palu godam yang menghantam dadanya, napasnya terasa mulai sesak. Hatinya terasa begitu sakit mendengar tuduhan suaminya yang tak berdasar dan sama sekali tak benar. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi, matanya menatap sayu wajah suaminya .
“ Kamu tega mas..! demi Tuhan..aku tidak akan melakukan hal seperti itu, buat apa..?” Ujar Kateni lirih sambil menahan tangisnya.
“ Mana aku tahu..! cuma kamu dan laki-laki pecundangmu yang tahu.., sudahlah..nggak usah pura-pura menangis. Bila memang kamu tak melakukannya, ya... sudah berhenti saja, beres kan..?”
“ Ya Tuhan mas..kamu tahu sendiri kan, bila di Jakarta cari pekerjaan begitu sulit. Lalu bila aku berhenti kerja, bagaimana keluarga kita bisa makan..? bagaimana biaya sekolah Dita yang sebentar lagi masuk SMP. Bila kamu saat ini bekerja mungkin tak masalah bila aku berhenti, tapi kamu sekarang menganggur. Bagaimana aku mengharapkanmu..?’
“ Oh.. jadi sekarang kamu merasa yang paling berjasa membiayai sekolah Dita. Hanya karena aku kini seorang penganggur kamu lupa siapa kamu, kamu mulai sombong...!” Ujar Herman marah karena merasa tersudut.
“ Demi Tuhan..bukan begitu mas. Maksudku...”
“ Sudah...! aku tak mau dengar lagi ocehanmu. Bila memang menurutmu aku tak berharga lagi sebagai suamimu, aku pergi. Aku sudah muak...! Ujar Herman sambil menyambar beberapa potong pakaian yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas ransel. Kateni mencoba mencegah niat Herman namun dengan kasar suaminya itu menghempaskannya ke sudut kamar lalu pergi sambil membanting pintu.
“ Mas...!! “ Pekik Kateni, namun Herman tak lagi memperdulikannya. Kateni hanya bisa menatap kepergian suaminya itu dengan berurai air mata.
Bukan sekali ini saja suaminya berperilaku seperti, marah-marah lalu pergi dari rumah dan baru dua atau tiga hari kemudian kembali. Katenipun hanya bisa menangis dan tak tahu harus berbuat apa, ia tak mengerti jalan pikiran suaminya. Menyuruhnya berhenti bekerja hanya karena perasaan cemburunya sungguh-sungguh tidak masuk nalar Kateni. Tak pernah terlintas dalam benaknya , apalagi membayangkan ia melakukan tindakan menjijikkan itu. Dadanya begitu sesak bila memikirkan semua itu, kini ia hanya bisa menangis untuk mengurangi beban perasaannya. Satu bulan berlalu, tak terdengar sedikitpun kabar mengenai keberadaan Herman suaminya. Kateni masih sempat bertanya kesana kemari, mulai dari sanak saudaranya sampai kepada teman-teman dekat Herman tapi semuanya nihil. Dua bulan..tiga bulan tak jua ada kabar, Katenipun mulai pasrah. “ Barangkali memang mas Herman tidak mau hidup bersamaku lagi “ Pikir Kateni. Namun ketika terdengar kabar bila Herman telah menikah lagi, tetap saja Kateni limbung dan tak berdaya.
* * * * * * * *
Dua tahun telah berlalu, Kateni berusaha tegar menghadapi suratan takdir yang telah digariskan untuknya. Ia merasa harus kuat dan tabah menjalani hidupnya sendiri, rengek Dita akan baju seragam dan buku baru menguatkan tekadnya untuk terus melangkah walau apa yang terjadi. Walau terkadang hatinya gamang dengan status yang disandangnya, bila ia dianggap seorang istri tapi tak ada seorang suami yang mendampinginya dan bila ia dianggap janda tak sekalipun terbetik kabar bila Herman menggugat atau mengurus perceraian mereka. Di lingkungan tempat kontrakan maupun di tempat kerja gunjingan bila Kateni kini hidup sendiri mulai terdengar, dan itu mulai dirasakannya beberapa hari yang lalu. Namun Kateni tetap berusaha untuk menutup rapat-rapat apa sesungguhnya yang telah terjadi, dan seringkali ia harus menutup telinganya rapat-rapat bila ada tetangga atau teman lelaki yang menggodanya.
Hari masih pagi saat Kateni mulai melangkahkan kakinya menuju tempat bekerja, ia sudah bangun dari tidurnya sejak subuh tadi. Walau ia sudah terbiasa tidak menyiapkan sarapan untuk anaknya atau membuatkan kopi untuk suaminya tetapi masih membuat Kateni bingung apa yang harus dikerjakannya pagi ini. Sejak suami meninggalkannya, hidup terasa begitu sepi baginya. Niat untuk mengajak anaknya ke Jakarta agar dapat menemaninya ia urungkan karena rasanya ia tak sanggup memenuhi biaya sekolahnya. Karena merasa tak ada lagi yang harus dilakukan dirumah ia memutuskan untuk berangkat kerja saja “ Ah..biarlah aku berangkat lebih awal, barangkali disana ada yang dapat aku kerjakan..” Pikir Kateni. Kateni bekerja sebagai pembantu ditempat usaha fotocopy, tapi teman-temannya sendiri sering menjulukinya PU atau pembantu umum. Karena selain pekerjaannya menjaga kebersihan ruko, lalu menyediakan minuman untuk para pekerja ruko yang berjumlah 7 orang terkadang ia juga diminta melayani pekerjaan fhotocopy bila pekerjaan yang ada begitu padat dan tak terpegang oleh pegawai yang lain.
Tepat pukul 06.30 wib, Kateni telah tiba didepan ruko. Terlihat mas Joko yang menjadi orang kepercayaan pak Aceng sang pemilik ruko sedang membuka rolling door. Mas Joko memang dipercaya pak Aceng untuk menjaga ruko dan ia selalu tidur di ruko setiap harinya. Hanya pada hari sabtu sore ia kembali kerumahnya di Bogor untuk menemui anak dan istrinya. Selama kerja beberapa tahun di tempat itu, Kateni baru menyadari dan baru kali ini memperhatikan perawakan mas Joko yang ternyata cukup gagah dan wajahnyapun tampan. Tiba-tiba ia merasakan dadanya berdebar, suatu perasaan yang telah lama tak dirasakannya. Dan saat mas Joko meminta dibuatkan segelas kopi tiba –tiba ia merasa gugup dan wajahnya langsung bersemu merah karena malu sendiri.
Dan pagi ini Kateni merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya, entah karena datang lebih pagi membuatnya lebih santai dalam menyiapkan minum pegawai atau karena merasakan sesuatu yang berbeda dari mas Joko. Sehingga keesokan harinya ia kembali berangkat lebih pagi seperti sebelumnya, ia ingin mas Joko kembali memintanya dibuatkan segelas kopi. Ada rasa senang dan ada kepuasan tersendiri bila dapat membuat mas Joko senang. Karena seringnya pertemuan antara mereka berdua saja, keduanyapun tak canggung lagi untuk saling bertegur sapa atau berbincang. Dan beberapa hari kemudian terlihat mereka berdua sedang berbincang serius. Kateni sudah tidak canggung lagi untuk mengungkapkan keluh kesah yang ada dalam dirinya pada mas Joko, terlihat mata Kateni berkaca-kaca seperti menahan tangis..
“ Saya turut prihatin dengan apa yang telah mba Teni alami, tapi saya pikir mba harus kuat dan tetap tabah. Bila dalam pikiran mba selalu ada anak, saya yakin mba pasti bisa..” Ujar mas Joko mencoba bijak.
“ Iya mas..saya sudah mencobanya selama dua tahun ini, tapi tetap saja terasa berat mas apalagi saya seorang perempuan..”
“ Saya yakin bisa mba..tergantung kemauan. Saya saja bisa..” Ujar Joko lagi.
“ Maksud mas Joko..?” Tanya Kateni bingung dengan ucapan mas Joko barusan. Joko tak langsung menjawab, ia tersenyum sambil menghirup kopi hangatnya.
“ Saya juga pernah mengalami apa yang mba alami sekarang, saya juga pernah merasakan kepedihan yang sama..” Kateni agak terkejut mendengar ucapan mas Joko, ia tak menyangka mas Joko pernah mengalami hal yang sama dengannya. “ Apakah karena hal itu maka kini mas Joko menjadi seorang yang pendiam..? “ Tanya Kateni dalam hati.
“ Kenapa bengong.., mba tidak percaya..? “
“ Emmm.. saya cuma minta maaf, barangkali saya secara tak sengaja membuka luka lama mas Joko “
“ Oh..nggak masalah mba ! walau masih tersisa dendam dihati, tapi saya dapat melupakannya kok dan saya yakin mba Teni juga bisa..”
Dan sejak itu Kateni merasa menemukan teman bicara, teman berbagi kesedihan dan kepedihan. Ia juga merasa menemukan tempat dimana ia dapat menuangkan dan mengungkapkan segala keluh kesah tentang kepedihannya, kesedihannya juga kebingungannya. Dan segala keluh kesahnya seringkali ditanggapi secara bijak oleh mas Joko sehingga Katenipun merasa nyaman saat berbicara dengannya.
Namun apa yang telah menjadi hukum alam tetaplah tidak bisa dipungkiri, kedekatan keduanya menumbuhkan perasaan yang sebenarnya saling mereka pendam, cinta..nafsu..entahlah..?. Namun bagi Hati Kateni yang sebelumnya bagai batu karang yang sekian lama di hantam dan dihempas deburan-deburan ombak kenestapaan dan kepedihan akhirnya luruh saat hembusan angin cinta mendera. Belaian dan sentuhan kasih sayang yang sejak lama didambakannya kini mengalir lewat tangan dan bibir mas Joko yang membuat ia lupa dengan semua yang menjadi beban di pikirannya. Kepedihan, kesedihan seakan terhempas dan berangsur-angsur menghilang dan iapun mulai tenggelam dalam kenikmatan secawan hasrat yang memabukkan. Gelora birahi hampir saja membakar nalar serta nilai-nilai kepatutan, beruntung gelora itu padam saat yang tepat. Mereka tersentak dan terkejut mengetahui kesalahan yang telah mereka perbuat. Sambil tersipu Kateni segera merapikan pakaiannya sedang mas Joko perlahan meninggalkan Kateni sambil berulang kali mengucapkan kata maaf. Kateni duduk tercenung di ruang dapur yang sempit..” Duh gusti..! apa yang telah saya lakukan..” Kutuknya dalam hati. Apa yang telah dilakukannya sama saja sebuah pembenaran dari apa yang telah dituduhkan suaminya dua tahun lalu, dan apa yang telah dilakukannya adalah penistaan dari sumpah yang pernah ia ucapkan. Iapun merasa malu dengan mas Joko, “ Setelah apa yang terjadi..apa yang dia pikirkan tentang diriku ?. Mungkinkah dia berpikir bahwa aku hanya wanita murahan yang dengan mudah dijamah seorang lelaki. Duh seandainya mas Joko berpikiran seperti itu betapa malunya aku, tidak..! ini tidak akan terulang..! “ Janjinya dalam hati. Namun semakin ia berusaha menepati janjinya dan tak memikirkan apa yang telah ia lakukan namun semakin besar pula keinginannya untuk mengulanginya lagi. Apa yang ada di pikiran mas Joko tentang dirinya kini tak diperdulikannya lagi, baginya menuntaskan hasrat yang telah terpendam sekian lama menjadi hal yang terpenting. Tak ada lagi sekat-sekat kokoh yang membatasi antara nafsu dan norma-norma, walaupun ada kini hanya dibatasi sekat tipis yang mudah rapuh.
Diantara rasa senang dan bahagia yang ia rengkuh dari mas Joko, seringkali ia menangis dan sangat menyesali betapa rapuh dirinya. Selaksa tanya juga menggayut dalam benaknya, salahkah aku bila coba menggapai sedikit asa..?. Salahkah aku bila masih berharap..?. Disisi lain Kateni juga merasa amat berdosa, barangkali apa yang telah dilakukannya telah mengganggu kehidupan orang lain terutama istri mas Joko. Barangkali juga apa yang dirasakannya saat mengetahui suaminya berhubungan dengan orang lain kini bisa saja sedang dirasakan istri mas Joko. “ Duh..gusti..! mengapa nasib terasa begitu tak adil bagiku..” Keluh Kateni dalam hati. Malam semakin larut, tawa riuh beberapa anak muda yang asik bermain kartu kini tak terdengar lagi, namun Kateni tetap saja tak dapat memejamkan mata. Kateni dihadapkan pada sebuah dilema untuk memutuskan apa yang seharusnya ia lakukan. Memutuskan kedekatannya dengan mas Joko dengan konsekwensi musnahnya segala asa untuk menggapai kebahagian yang ia dambakan. Lalu hidupnya akan kembali diisi dengan hari-hari sepi tanpa semangat hidup. Atau tetap mempertahankan hubungannya dengan mas Joko walau hari-harinya akan diisi perasaan bersalah dan berdosa. Kedua pelupuk matanya kian lama kian lemah untuk tetap terjaga, kantuknya mulai menyerang namun ia sudah mempunyai satu keputusan sebelum terlelap tidur.
Hari ini Kateni berangkat ke tempat kerja agak siang, selain karena semalam ia tidur agak larut saat ini ia juga kehilangan gairah untuk bekerja. Hanya satu yang masih bisa menyeret langkahnya ke tempat kerja yaitu mas Joko, hari ini ia harus bertemu mas Joko untuk mengatakan apa yang telah ia putuskan semalam. Ketika akan sampai ke depan jalan raya, tiba-tiba terdengar suara mendecit lalu disusul suara benturan yang cukup keras. Kateni cukup terkejut mendengar suara tersebut namun tak tahu apa yang terjadi, beberapa orang terlihat berlarian menuju asal suara sehingga iapun turut mempercepat langkahnya. Dari kejauhan ia melihat banyak orang berkerumun persis didepan ruko tempatnya bekerja. “ Ada apa..? “ tanya Kateni dalam hati ketika melihat orang-orang yang berkerumun. Sampai didepan ruko Kateni melihat sebuah mobil toyota avanza ringsek menabrak sebuah warung kecil yang terletak persis di depan ruko, begitu juga dengan warungnya yang kini sudah tak berbentuk lagi. Namun hatinya kembali bertanya-tanya saat melihat mba Eka yang menjadi kasir ditempatnya bekerja sedang menangis tersedu-sedu, Katenipun mendekatinya dan bertanya apa yang terjadi. “ Mas Joko meninggal mba...!” Jawab mba Eka sambil tersedu. Laksana petir disiang bolong yang menyambar jantungnya, Katenipun roboh pingsan tanpa sempat berkata apa-apa. Setelah siuman barulah Kateni mengetahui kejadian yang sebenarnya, mas Joko tertabrak mobil yang berusaha menghindari tabrakan dengan motor yang berjalan zig-zag di depannya. Saat itu mas Joko sedang membeli rokok dan tak sempat menghindar karena kejadian yang begitu tiba-tiba. “ Duh..gusti ! mengapa mas Joko harus meninggal bila hanya untuk memisahkan aku dengannya. Padahal hari ini aku sudah memutuskan untuk menghentikan hubunganku dengannya, berpisah tanpa ada tangis..tanpa ada yang disakiti, tapi kini...? “ Tangis Kateni kembali menggema dan memang hanya ini yang bisa ia lakukan..menangis dan menangis...
Kp. Sawah, 12 September 2009
17 komentar:
miris juga ceritanya...
sayang kateni tetep aja selingkuh ya, coba dia ga selingkuh
kenapa dibuat selingkuh sih? sedih nih. mestinya dia ttap setia dong
duh Kateni..nasibmu..hehe
@ Clara & mba Fanny : Habis musim hujan sih...dingin2 gini sapa yang nggak tahan...he..he
@ Mba Zahra : He..he..he
miris kenyataan yang harus di hadepin oleh kateni :D
lho, kemarin dah koment di sini lho. kok ndak ada? hiks.....sedih..
oo ada..inet yg lelet jadi gak keliatan komentnya. he he he.
ditinggal suami, ditinggal orang yang dicintai, duh...miris ya. btw, kalo dah dua tahun tak dinafkahi suami bisa dibilang udah cerai nggak ya
@ Lina : Kata ustaz Sobri ( Akri OKB ) dalam hukum agama sih sudah diangap cerai...tapi ngak tahu juga ya, habis saya bukan penghulu sih..he..he
Ceritanya menyentuh mas, salah satu poin yang saya tangkap bahwa cinta itu butuh saling percaya...
Rupanya kesetiaan Kateni bobol yah?
Cerita disini kontennya sangat berbeda dengan Bang Pendi..
Saya salut banget sama bang Noor yang bisa buat cerita dalam dua versi yang sama menarik.
Sukses selalu...
@ Sauskecap : Sepertinya memang gitu mba...
@ Pak Iwan : Terimakasih pak, apresiasi bapak membuat saya tambah semangat tuk menulis...
mampir kembali bang noor ..........
Wih... cerpennya bagus tuh mas.
Ternyata bisa juga menulis yg 'serius' ya..?
Kirain lebih suka nulis model 'lenong betawi' hehehe
Kenapa tokoh Joko harus mati...?
*gak rela*
Selingkuh selalu bikin perkara
kenapa harus ada perselingkuhan?
1 hati aja ga habis..
Posting Komentar