Seorang lelaki setengah baya dengan rambut yang mulai memutih dan bertubuh tirus terlihat sedang duduk terpaku dalam diam. Dari tempat ia duduk matanya tak lepas barang sedetikpun menatap jembatan yang berdiri kokoh membelah arus sungai Ciliwung. Jembatan yang belum lama berselang diresmikan bapak Lurah Srengseng Sawah dibangun untuk menggantikan sebuah jembatan gantung yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi sarana penghubung desanya dengan desa atau daerah lainnya. Sebuah jembatan gantung yang tak akan dapat dilupakan seumur hidupnya, jembatan yang mengubah jalan hidupnya, jembatan yang membuat ia kini duduk termenung disini…saat ini.
“ Ayolah Marni..kita harus segera pulang, hari sudah mulai menjelang larut malam. Saya khawatir, ayahmu akan murka nantinya..” Bujuk Jumadi kepada Marni yang bersikeras tak mau pulang karena hendak menemui kekasihnya.
“ Sebentar saja kang…! Ayah tak akan marah kok…akang tenang saja “ balas Marni.
“ Tapi Marni…kamu diijinkan kesini hanya untuk mengaji dan itu sudah kamu lakukan. Sekarang…pulanglah “ Bujuk Jumadi lagi. Ia sangat pantas untuk merasa khawatir karena pak Parmin.. ayah marni menugaskannya untuk mengawal dan menjaga Marni “ Ingat Madi…jaga dia baik-baik ! jangan biarkan kulitnya yang halus tergores barang setitikpun dan satu lagi, jangan sampai pulang larut malam. Tepat jam 21.00 Marni harus sudah ada tepat di hadapanku !” Kata-kata pak Parmin teriang kembali di telinganya. Jumadi mendekatkan jam tangan kearah matanya, cahaya yang remang-remang sedikit menyulitkannya melihat jam. 10 menit telah berlalu dari pukul 20.00, Jumadi menghela napas dengan berat.
“ Ya sudah kang…akang tunggu saja dimulut jembatan, saya tak akan lama..! “ Ujar Marni sambil berlalu meninggalkan Jumadi yang tidak bias berbuat apa-apa.
Jumadi duduk pada sebuah batu besar dipinggir jalan dekat mulut jembatan gantung. Sekilas matanya menatap jembatan yang hanya terbuat dari tali kawat baja dan bilah-bilah bambu sebagai alasnya, lalu matanya menatap cahaya dari obor yang sengaja dipasang penduduk dimulut jembatan. Cahaya itu kini terlihat bagai menari-nari ditiup sang angin malam, tariannya seakan sedang menghibur hati Jumadi yang saat ini sedang gelisah. Detik demi detik berlalu, keringat dingin mulai membasahi kening dan sekujur tubuh Jumadi. Jalan yang sepi serta gelap malam yang hanya diterangi lembutnya sinar rembulan dan sedikit cahaya dari obor tadi menjadikan suasana malam terasa begitu mencekam. Suara riak air dari arus sungai dan juga nyanyian jangkrik-jangkrik seakan tak mampu sedikitpun menghibur hatinya. Jumadi kembali melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sudah terbayang jelas dalam benaknya akan kemurkaan pak Parmin ayah Marni. Jumadi bergidik…rasa takut mulai menjalari jiwanya, ia tahu benar pak Parmin akan melakukan apapun demi Marni anak kesayangannya. Ingin rasanya ia menyusul Marni, tapi dimana..?
Dalam kegelisahan dan kebingungannya yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar olehnya derap suara langkah tergesa. Perlahan sosok Marni yang sedang ditunggu-tunggunya mulai terihat. Hati Jumadi terasa sedikit lega namun kelegaan itu dengan cepat berubah menjadi sebuah kebingungan disertai kekhawatiran. Marni terus berlari tanpa sedikitpun menghiraukan Jumadi yang sejak tadi menunggunya. Yang lebih membingungkan Jumadi, Marni berlari sambil menangis terisak-isak.
“ Ada apa Marni ? hey..tunggu…tunggu…!” Tanya Jumadi sambil berusaha menahan Marni.
“ Lepaskan aku kang.., lepaskan..! dia memperkosaku…dia memperkosaku..!” Tangis Marni semakin keras sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Jumadi.
“ Apa….siapa !? Tanya Jumadi, ia bingung sekaligus terkejut mendengar ucapan Marni.
Marni berhasil melepaskan diri dan iapun langsung berlari menuju jembatan, Jumadi langsung mengejar. Jembatan gantung itupun bergoyang dahsyat saat dua anak manusia berkejaran diatasnya, tepat ditengah jembatan Jumadi berhasil mencekal tubuh Marni yang masih terus menangis.
“ Lepaskan aku kang…! Sudah tak ada gunanya lagi…aku sudah ternista…” Rengek Marni disela tangisnya.
“ Tenang..tenangkan dirimu dan jelaskan padaku…” Ujar Jumadi setengah berteriak.
“ Dia memperkosaku kang…aku sudah kotor. Aku mau mati saja…!!”
“ Ya..tapi siapa…siapa yang memperkosamu ?” Tanya Jumadi dengan nada geram sambil mengguncang-guncang bahu Marni.
Marni hanya menangis dan menangis, disatu kesempatan ia melepaskan diri lagi dari Jumadi dan dalam sekejap ia meloncat kearah sungai. Jumadi begitu terkejut dengan perbuatan nekat Marni, ia sempat melompat dan merengkuh baju yang dikenakan Marni namun baju itu sobek dan tubuh Marnipun meluncur deras di jantung arus sungai yang mengalir deras diiringi teriakan Jumadi…” Marniiii….Marniiiii…!!” Teriakan Jumadi tak ada gunanya lagi, tubuh Marni telah tenggelam dalam pelukan arus sungai yang ganas. Gelapnya malam membuat Jumadi tak mampu melihat tubuh Marni, ia hanya bisa mendengar suara berdebur saat pertama kali tubuh Marni menyentuh permukaan air. Jumadi terpaku lemas tak berdaya, seluruh tenaganya seakan tersedot oleh rasa keterkejutannya, ia seakan-akan tak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Rasa bingung, rasa sesal, rasa kehilangan dan juga rasa ketakutan yang luar biasa akan kemurkaan pak Parmin membuat tubuhnya bergetar hebat. Berdiripun rasanya ia tak mampu, seakan lututnya tak mampu lagi menopang tubuh. Kini Jumadi hanya bisa memegang kawat baja jembatan sambil menangisi kebodohannya.
Marni hanya menangis dan menangis, disatu kesempatan ia melepaskan diri lagi dari Jumadi dan dalam sekejap ia meloncat kearah sungai. Jumadi begitu terkejut dengan perbuatan nekat Marni, ia sempat melompat dan merengkuh baju yang dikenakan Marni namun baju itu sobek dan tubuh Marnipun meluncur deras di jantung arus sungai yang mengalir deras diiringi teriakan Jumadi…” Marniiii….Marniiiii…!!” Teriakan Jumadi tak ada gunanya lagi, tubuh Marni telah tenggelam dalam pelukan arus sungai yang ganas. Gelapnya malam membuat Jumadi tak mampu melihat tubuh Marni, ia hanya bisa mendengar suara berdebur saat pertama kali tubuh Marni menyentuh permukaan air. Jumadi terpaku lemas tak berdaya, seluruh tenaganya seakan tersedot oleh rasa keterkejutannya, ia seakan-akan tak percaya dengan apa yang baru saja ia alami. Rasa bingung, rasa sesal, rasa kehilangan dan juga rasa ketakutan yang luar biasa akan kemurkaan pak Parmin membuat tubuhnya bergetar hebat. Berdiripun rasanya ia tak mampu, seakan lututnya tak mampu lagi menopang tubuh. Kini Jumadi hanya bisa memegang kawat baja jembatan sambil menangisi kebodohannya.
* * * * * * * * *
Lelaki setengah baya itu berusaha bangkit dari duduknya. Dengan bantuan sebuah tongkat kayu, perlahan ia mengangkat tubuhnya yang ringkih. Kedua kakinya mulai bergetar saat tubuhnya sudah berdiri tegak kemudian ia melangkah perlahan menuju jembatan. Warga yang melintas diatas jembatan agak sedikit heran dengan gerak-gerik lelaki setengah baya itu. Sejak sebulan yang lalu setelah keluar dari penjara, lelaki setengah baya itu memang selalu ada di sekitar jembatan sejak pagi hingga menjelang petang setiap harinya. Matanya selalu menatap kearah jembatan, apa yang diinginkannya dan apa yang dipikirkannya tak seorangpun tahu. Ia hanya melihat dan menatap dari kejauhan, tak sekalipun ia mendekati jembatan apalagi melewatinya tapi tidak kali ini.
Beberapa langkah lagi, kaki dari lelaki setengah baya itu sampai di mulut jembatan. Langkah gemetar dari kaki-kaki kurusnya membuat hati sebagian warga yang melihat merasa trenyuh. Langkah-langkah kaki itu seakan membuka mata hati mereka dan mulai meyakinkan mereka bahwa lelaki setengah baya yang dipanggil pak Jumadi itu bukanlah pembunuh Murni. Tapi apapun yang ada di benak warga semuanya tak berarti dan tak akan merubah apapun, setidaknya itu yang ada dibenak pak Jumadi saat ini. Kini ia telah berdiri tepat ditengah jembatan dan matanya lurus menatap arus air di bawahnya.
Beberapa langkah lagi, kaki dari lelaki setengah baya itu sampai di mulut jembatan. Langkah gemetar dari kaki-kaki kurusnya membuat hati sebagian warga yang melihat merasa trenyuh. Langkah-langkah kaki itu seakan membuka mata hati mereka dan mulai meyakinkan mereka bahwa lelaki setengah baya yang dipanggil pak Jumadi itu bukanlah pembunuh Murni. Tapi apapun yang ada di benak warga semuanya tak berarti dan tak akan merubah apapun, setidaknya itu yang ada dibenak pak Jumadi saat ini. Kini ia telah berdiri tepat ditengah jembatan dan matanya lurus menatap arus air di bawahnya.
“ Marni…cukup sudah 25 tahun aku menangisi kebodohanku, menyesali ketololanku. Aku menyesal tak mampu menjagamu…aku menyesal tak mampu menyelamatkan hidupmu, maafkan aku Marni…maafkan aku ! Dan kali inipun rasanya cukup sudah aku memendam rasa dan asa padamu, kali ini kuberanikan diri untuk mengungkapkan bahwa aku sangat mencintaimu…sejak dulu dan sampai kapanpun. Semoga engkau mendengar suara hatiku…Marni. Namun bila tidak, biarlah angin senja membawa serbuk-serbuk sari cintaku lalu menaburkannya pada kelopak bunga-bunga nirwana…dan biarkan, biarkan bersemi selamanya “.
Warga memang tak terlalu memperdulikan apa yang dilakukan pak Jumadi diatas jembatan, namun saat terdengar suara air berdebur dan pak Jumadi tak terlihat lagi diatas jembatan, mereka panik dan berhamburan menuju jembatan. Nyawa pak Jumadi tak dapat terselamatkan, titik-titik airmata mengiringi kepergian pak Jumadi namun jasad pak Jumadi terlihat tengah tersenyum, tersenyum karena kini ia akan menjemput cintanya. Dengan ajalnya ia akan menjemput cinta Marni.
Kampung Sawah, 07 Februari 2010
18 komentar:
walah tragis bener sih...udah dituduh membunuh marni akhirnya malah ikut bunuh diri...ckckckc
Masya Allah..., kok ceritanya setragis itu sih..?
Untuk menjemput cinta saja... harus dengan ajal.
Kok kalau buat cerpen milih yang sedih-sedih begitu ? Pengennya sih cerpennya Happy Ending aja.
@ Mba Reni : Saya juga ngga ngerti mba, habis ide yang ada kayak gitu....kebawa perasaan kali mba, habis susah terus...ngga ada seneng-senengnya..he..he
@ Mba Reni & non Clara : Ya..sudah, yang sedih biarlah sedih. Kalau mau nyengir...mampir ke rumahnya bang Pendi...he..he
kisah cinta yang sedih bro....banyak terjadi di kenyataannya.
jadi siapa yg memperkosa si Marni? kenapa malam itu si jumadi menemani marni? Marni ketemu dg siapa memangnya? pacarnya?
@ Mba Fanny : Yang memperkosa Marni pacarnya, Jumadi jadi pengawal Marni anak majikannya, Marni ketemu pacarnya, betuuuuul....
kirain Jumadi itu pacarnya Marni... ternyata cuma bodiguard nya toh...
kalo mo beli baju dsini ya : http://raini-sale.blogspot.com/
dtnggu kunjungnny :)
waduh kisahnya berakhir tragis....
cerpen yang sangat bagus (ini cerpen toh?)
salam kenal
Cerpen yang manis walau tragis. Keren, mas.
MANTAP CERPENNYA. KEREEENN.
wah cerita yang sungguh tragisss sedih juga ngebacanya
berkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya makasihhh
sedih nian bang ceritanya hikks
bro....kayaknya aq pangling deh ma blog kamu?kok yang ini yah?padahal biasanya blog yang satunya loh...
@ Mas Aditya : Maksudnya apa mas, beda dengan blog yang satunya ? saya juga ngga ngerti..he..he, tapi mungkin begini mas...ngga baik kalau selalu sedih/ serius terus dan ngga baik juga kalau senang terus. Mungkin seperti itu...biar imbang ! he..he
Posting Komentar